Gagal, Marsono (duduk membaca) tolak menandatangani aspirasi mahasiswa dan masyarakat yang menolak UU Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja, Gedung DPRD Tulungagung, Rabu 14 Oktober 2020.
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tulungagung Marsono menolak tandatangan lembar kertas Aspirasi Mahasiswa dan Masyarakat Tulungagung yang menolak UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR RI.
Pertemuan perwakilan mahasiswa dan masyarakat yang menolak Undang Undang Omnibus Law Cipta kerja dengan pimpinan DPRD Tulungagung, berlangsung di gedung DPRD, Hari Rabu, 14 Oktober 2020.
Pertemuan tersebut sebagai tindak lanjut dari aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat Tulungagung, 12 Oktober lalu. Para mahasiswa meminta DPRD secara kelembagaan menyatakan sikap penolakan atas UU yang disahkan DPR RI pada 5 Oktober lalu.
Sementara itu, sejumlah pimpinan fraksi dan wakil ketua dewan pun setuju dengan menandatangani surat penolakan UU Omnibus Law, yang menjadi aspirasi para mahasiswa tersebut.

Alasan Ketua DPRD Tulungagung, Marsono menolak ikut tanda tangan, ia masih berkomitmen dengan hasil video conference dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Dari hasil video conference itu, “Dijanjikan naskahnya akan dikirim ke seluruh Kepala Daerah dan Ketua DPRD se-Indonesia, lalu pihaknya baru akan mengambil sikap setelah mempelajari UU tersebut. Mana yang kira-kira merugikan masyarakat,” ujar Marsono.
Karena marsono enggan menandatangani aspirasi yang dibawa perwakilan mahasiswa dan masyarakat, maka pertemuan pun tidak membuahkan hasil. Marsono mengajak para mahasiswa untuk mendiskusikan masalah yang sama dengan bupati, Kamis, 15 Oktober siang.

Sementara itu Koordinator Aliansi Mahasiswa Tulungagung, Bagus Prasetiawan, menilai DPRD secara kelembagaan belum mengakomodasi tuntutan mahasiswa.
Jika nantinya tidak mendapatkan dukungan dalam penolakan UU ini, pihaknya mengancam akan melakukan aksi demo dengan masa yang lebih besar dibandingkan dengan aksi pada tanggal 12 Oktober kemarin.
Dalam Hearing itu, pihaknya diarahkan untuk melakukan judicial review UU Omnibus law. Namun pihaknya menganggap lucu, lantaran draft dari UU ini ada 3 versi yang masih abu-abu. “Ada beberapa draft, pemerintah seolah-olah bermain tebak-tebakan dengan masyarakat Indonesia,” ujar Bagus.(irf/red)