160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Peringati Hakordia, Ratusan Massa AMPERA Gelar Aksi di Blitar Raya, Soroti Mafia Tanah hingga Mafia Hukum

BLITAR, HARIAN-NEWS.com — Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) di Blitar Raya diwarnai aksi penyampaian aspirasi oleh ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pendukung Reforma Agraria (AMPERA), Kamis siang (18/12/2025). Aksi tersebut digelar di sejumlah titik strategis, mulai dari Kantor Kejaksaan Negeri Kota Blitar, Kejaksaan Negeri Kabupaten Blitar, Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar, hingga Kantor ATR/BPN Kabupaten Blitar.

Sejak awal aksi, perhatian publik tertuju pada keranda mayat yang dibawa massa. Keranda tersebut dijadikan simbol matinya penindakan terhadap praktik korupsi, khususnya di sektor agraria yang dinilai terus dibiarkan tanpa penanganan tegas dan transparan. Simbolisasi itu diperkuat dengan poster serta selebaran berisi tuntutan pembongkaran mafia tanah, mafia hutan, dan mafia hukum.

Koordinator Aksi AMPERA, Muhammad Erdin Subchan, menegaskan bahwa aksi ini merupakan luapan kekecewaan masyarakat terhadap lemahnya penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.
“Keranda ini adalah simbol. Kami ingin menunjukkan bahwa penindakan terhadap korupsi seolah-olah sudah mati. Banyak laporan publik tidak jelas ujungnya, dibiarkan tanpa kepastian, dan akhirnya menguap begitu saja,” tegas Erdin dalam orasinya.

Menurut Erdin, yang dilawan AMPERA bukanlah proses hukum itu sendiri, melainkan apa yang ia sebut sebagai kabut proses—kondisi ketika penanganan perkara tidak memiliki kejelasan tahapan, tidak transparan, serta tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Situasi ini, lanjutnya, justru membuka ruang kompromi, transaksi, hingga pembusukan moral aparat penegak hukum.

750 x 100 AD PLACEMENT

Dalam aksinya, AMPERA menyoroti sedikitnya tiga bentuk kejahatan sistemik yang dinilai nyata dirasakan masyarakat Blitar Raya. Pertama, mafia tanah, yang diduga beroperasi melalui penguasaan lahan secara tidak patut, manipulasi administrasi, serta pembiaran konflik agraria agar terus berlarut.

Kedua, mafia hutan, yang memanfaatkan kawasan hutan dan skema perhutanan sosial untuk kepentingan segelintir pihak sehingga tujuan reforma agraria dan keadilan lingkungan menjadi kabur. Ketiga, mafia hukum, yang ditandai dengan dugaan intervensi proses hukum, lambannya penanganan perkara, hingga praktik yang membuat masyarakat lelah dan akhirnya menyerah.

Erdin juga menyinggung sejumlah kasus agraria di Kabupaten Blitar yang dinilai mencerminkan ketidakadilan struktural, termasuk belum tuntasnya pendistribusian lahan hasil redistribusi kepada masyarakat penerima manfaat. AMPERA mempertanyakan kejelasan sekitar ±30 hektare lahan yang hingga kini belum terealisasi pembagiannya, meski telah memiliki dasar kebijakan.
“Jika negara sungguh-sungguh hadir, tidak boleh ada ruang gelap dalam reforma agraria. Semua harus terbuka dan bisa diawasi rakyat,” tegasnya.
Selain mafia tanah, massa aksi turut mengkritisi pelaksanaan program nasional seperti Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTPKH) dan perhutanan sosial yang dinilai rawan disusupi praktik monopoli, manipulasi data, serta penyalahgunaan kewenangan. AMPERA mendesak aparat penegak hukum, pemerintah daerah, serta ATR/BPN untuk bekerja secara profesional, akuntabel, dan menjunjung tinggi kepastian hukum.

Aksi yang diikuti ratusan peserta dari berbagai elemen masyarakat sipil tersebut berlangsung dengan pengawalan aparat keamanan dan berjalan relatif tertib. Melalui momentum Hakordia, AMPERA menegaskan komitmennya untuk terus mengawal penegakan hukum dan keadilan agraria di Blitar Raya.
“Hakordia bukan sekadar seremoni tahunan. Ini pengingat bahwa negara wajib hadir dan berpihak kepada rakyat, bukan kepada mafia,” pungkas Erdin.

750 x 100 AD PLACEMENT

Jurnalis: Etok
Editor: Arief Gringsing

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
Ayo ikut berpartisipasi untuk mewujudkan jurnalistik berkualitas!
Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !