
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com – Data literasi Kabupaten Tulungagung tahun 2025 menyuguhkan potret yang kontras. Di satu sisi, dunia digital meledak dengan ratusan ribu akses, di sisi lain ruang fisik perpustakaan nyaris ditinggalkan. Menariknya, dari catatan resmi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Tulungagung, perempuan muncul sebagai motor penggerak literasi, jauh melampaui laki-laki dalam hampir semua kategori.
Sepanjang Januari–Agustus 2025, total kunjungan tercatat 292.038 orang. Dari jumlah itu, 162.026 adalah perempuan dan 130.012 laki-laki. Namun, mayoritas kunjungan tersebut bukan berasal dari mereka yang datang langsung ke perpustakaan, melainkan lewat gawai: website, media sosial, hingga e-Library.
Digital Meroket, Fisik Tergerus
Lonjakan kunjungan digital mencapai 267.855 akses hanya dalam delapan bulan. Bahkan pada Juli–Agustus saja, lebih dari 110 ribu akses tercatat. Sebaliknya, kunjungan fisik justru memprihatinkan. Pengunjung dewasa hanya 11.587 orang, sementara pengunjung referensi—jantung sebuah perpustakaan—hanya 191 orang.
Layanan mobil perpustakaan keliling yang diharapkan mampu menjangkau pelosok pun belum mampu mengangkat angka. Hingga Agustus, hanya 2.358 kunjungan tercatat.
Pertanyaan Mendasar
Fenomena ini memunculkan tanya: apakah tingginya klik digital benar-benar mencerminkan meningkatnya budaya baca? Ataukah sekadar lalu lintas maya tanpa interaksi mendalam?
“Secara nasional, Tingkat Kegemaran Membaca (TKM) memang menurun. Tapi di Tulungagung, tren kunjungan masih meningkat. Hasil resminya baru akan terlihat pada awal 2026,” kata Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Tulungagung melalui Eta Krisna Dewi, S.E., Kabid Perpustakaan Tulungagung, kepada Harian News, Kamis (2/10/2025).
Ia menambahkan, berbagai program literasi terus digulirkan, mulai festival literasi, kerjasama dengan sekolah dan desa, hingga penguatan layanan perpustakaan keliling.
Perempuan Memimpin, Laki-laki Tertinggal
Data memperlihatkan perempuan lebih aktif dibanding laki-laki, baik sebagai pengunjung perpustakaan, anak-anak, maupun pengguna digital. Fakta ini menegaskan bahwa perempuan menjadi motor penggerak literasi Tulungagung.
Namun, tantangan baru muncul: bagaimana mendorong partisipasi laki-laki agar tidak semakin tertinggal dalam budaya baca.
Antara Eksistensi dan Formalitas
Meski program literasi berjalan, efektivitasnya masih menjadi pekerjaan rumah. Apakah benar berdampak pada budaya baca atau sekadar agenda seremonial belaka?
Jika tren ini dibiarkan, Tulungagung bisa terjebak dalam paradoks literasi: perpustakaan ramai di layar, tapi sepi di rak. Buku hanya jadi pajangan, ruang baca sekadar simbol, bukan ruang hidup pengetahuan.
Arah Literasi ke Depan
Pilihan kini ada di tangan pemerintah daerah dan Dinas Perpustakaan: mempertahankan pola lama atau berani menata ulang strategi. Literasi bukan sekadar angka kunjungan digital, melainkan kebiasaan membaca, keberanian berdiskusi, dan hadirnya masyarakat dalam ruang pengetahuan nyata.
Tulungagung harus belajar dari data ini: di balik lonjakan digital, ada alarm senyap yang menunggu ditanggapi. Jika tidak segera direspons, literasi berisiko kehilangan maknanya—ramai di layar, tapi sepi di rak buku.
Jurnalis: Pandu