

Jaranan Sentherewe pentas di Malam Pesona Budaya Tulungagung 2025, Sabtu malam (14/11/2025)
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com — Malam Pesona Budaya 2025 di Titik Nol Kilometer mendadak menjadi panggung sejarah. Dua kesenian rakyat yang selama ini hidup di ruang-ruang budaya masyarakat bawah—Jaranan Sentherewe dan Reyog Kendhang—resmi mendapat pengakuan pemerintah pusat. Sebuah momen yang mengangkat kebanggaan, namun sekaligus membuka pertanyaan besar: apakah pengakuan ini akan diikuti langkah nyata atau hanya berhenti sebagai seremoni?

Pengumuman tersebut disampaikan langsung oleh Bupati Tulungagung, Gatut Sunu Wibowo, S.E., M.E., Sabtu (15/11/2025) malam. Dengan lantang, ia menyebut penetapan ini sebagai “peneguhan jati diri daerah” dan menegaskan bahwa amanah besar kini berada di tangan pemerintah dan masyarakat.
“Budaya adalah jati diri. Pengakuan ini amanah besar,” tegasnya.
Pengakuan WBTB dan EBT: Antara Kebanggaan dan Tantangan
Kementerian Kebudayaan RI memasukkan Jaranan Sentherewe sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia, sementara Kementerian Hukum RI memberikan status Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) bagi Jaranan Sentherewe dan Reyog Kendhang. Secara hukum, keduanya kini terlindungi dari klaim pihak luar.
Namun euforia itu tak bisa menutupi realitas di lapangan. Banyak kelompok jaranan masih berjuang dengan minimnya fasilitas, kesulitan pendanaan, hingga tantangan regenerasi pemain muda.
Pengakuan WBTB dan EBT tentu penting, tetapi tanpa dukungan anggaran, pembinaan berkelanjutan, dan program pendampingan yang serius, status tersebut rawan menjadi sebatas penghargaan simbolik.
“Pengakuan EBT memberi ruang aman. Namun tanpa aksi konkret, ruang aman itu hanya akan jadi etalase tanpa isi.”
Tiga Agenda Besar yang Menanti Eksekusi
Bupati Gatut Sunu membeberkan tiga agenda prioritas pemerintah daerah dalam merawat dua warisan budaya ini:
1. Pelestarian Berkelanjutan
Termasuk kemungkinan masuk kurikulum, pentas rutin, serta pembinaan komunitas. Namun publik menanti implementasinya, bukan sekadar wacana.
2. Inovasi dan Ekonomi Kreatif
Budaya tidak lagi cukup jadi tontonan. Harus mampu menjadi sumber pendapatan bagi para pelaku seni dan masyarakat.
3. Membangun Kebanggaan Generasi Muda
Tantangannya besar: bagaimana kesenian lokal mampu bersaing di tengah derasnya budaya digital.
Tanpa strategi yang jelas dan berkesinambungan, ketiga agenda ini hanya akan menjadi daftar keinginan di atas kertas.
Pengakuan Hanya Awal, Kerja Nyata Baru Dimulai
Sorak dukungan publik menggema malam itu, tetapi sorak saja tidak cukup. Tulungagung kini berada di garis depan peta kebudayaan Nusantara. Pengakuan dari pemerintah pusat hanyalah pintu masuk. Pekerjaan sesungguhnya justru baru dimulai.
Keseriusan pemerintah daerah, partisipasi masyarakat, serta keberanian pelaku seni untuk terus berinovasi akan menentukan apakah warisan budaya ini benar-benar hidup dan berkembang, atau justru menjadi catatan manis yang memudar dalam sejarah.
Jurnalis: Pandhu
Editor: Arief Gringsing
Jangan Tampilkan Lagi
Ya, Saya Mau !