
Oleh *Imam Mawardi Ridlwan
HARIAN- NEWS.com – Hingga pekan kedua Oktober 2025, dua keluarga yang hidup berdempetan saling melaporkan ke polisi. Para nitizen, penggiat medsos menjadi saksi bagaimana tetangga bisa berubah menjadi lawan. Mungkin mereka akan merasa puas jika yang satu dipenjara. Atau malah keduanya akan berakhir di balik jeruji. Di balik drama hukum itu, tersimpan pertanyaan yang lebih dalam: bagaimana kondisi hati mereka?
Dalam kehidupan, kita diberi pilihan untuk menempuh jalan tasawuf. Jalan yang tidak hanya menata jasad, tetapi juga jiwa dan ruh. Namun, jalan ini bukanlah jalan yang mudah. Menata hati ibarat menaklukkan lautan yang terus bergelombang. Hati berasal dari kata qalaba yang bermakna bolak-balik. Ia mudah condong pada hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah kegelapan yang menjauhkan dari nur Ilahi.
Banyak yang mampu mengajarkan ilmu tasawuf, tetapi belum tentu mampu menata hatinya sendiri. Maka tak heran jika secara lahiriah, tampak dendam, takabur, dan keinginan menyengsarakan sesama. Padahal, prilaku lahiriah adalah cermin dari hati. Jika hati bening, maka lahiriah akan memancarkan rahmat. Jika hati keruh, maka lahiriah akan menebar fitnah.
Ketika prilaku lahiriah tidak dijaga, hati kehilangan kendali atas jasad. Maka jasad akan bebas melampiaskan syahwat, dan jiwa akan menonjolkan emosi serta keangkuhan. Inilah awal dari kerusakan sosial. Dari hati yang rusak, lahir prilaku yang menyakiti. Dari prilaku yang menyakiti, lahir lingkungan yang penuh konflik.
Solusinya bukan sekadar ilmu, tetapi dzikir yang menghidupkan lahiriah. Dzikir bukan hanya di lisan, tetapi juga di tindakan. Prilaku yang mencerminkan sebagai abdullah—hamba Allah Ta’ala—harus menjadi tujuan. Karena hanya dengan dzikir, lahiriah bisa menjadi jalan menuju nur Ilahi.
Bertetangga bagi para ahli tasawuf harus membawa keberkahkan. Bukan membawa petaka. Mereka tidak sibuk menuntut, tetapi sibuk melayani. Mereka tidak sibuk menilai, tetapi sibuk mendoakan. Mereka menjadikan tetangga sebagai ladang amal, bukan ladang konflik. Maka jiwa pun menjadi tenang, dan hati pun menjadi terang.
Lahiriah adalah cermin hati. Jika cermin itu retak, maka bayangan yang muncul pun akan menyesatkan. Maka jagalah prilaku, karena ia adalah jalan menuju keseimbangan batin. Jangan hanya menjadi orang berilmu, tetapi jadilah insan yang menebar kedamaian. Karena ilmu tanpa ketenangan hati hanyalah kilau tanpa nur.
*Ketua Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam