
Literasi: Relawan Divisi Party Planner, Athena sedang menunjukan buku
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com — Di tengah kemeriahan Tulungagung Book Party yang digelar Minggu (27/7/2025) di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso, terselip suara-suara reflektif dari para pegiat literasi.
Athena, relawan dari divisi Party Planner, dengan lugas menyoroti bahwa tingginya antusiasme masyarakat, khususnya anak muda, terhadap buku dan literasi belum ditopang oleh fasilitas memadai.
“Aku melihat minat baca di Tulungagung itu sebenarnya tinggi. Saat ikut acara literasi sebelumnya, peserta yang hadir bahkan bisa dua kali lipat dari ini. Sayangnya, fasilitas seperti perpustakaan dan publikasi acara semacam ini masih minim,” ungkap Athena saat ditemui di sela kegiatan.
Menurutnya, kemajuan teknologi seharusnya bisa menjadi alat bantu, bukan justru menjadi sumber gangguan. Akses digital memang kian mudah, namun membaca buku konvensional kini harus bersaing dengan layar ponsel yang lebih menggoda.
“Sekarang baca buku pun sebelahnya sudah HP. Gangguannya jadi banyak. Tantangannya bukan cuma minat, tapi waktu dan fokus,” tambahnya.
Peran Pemerintah Masih Kabur
Athena pun menyampaikan keprihatinan terkait peran pemerintah daerah yang dinilai belum optimal dalam mendukung gerakan literasi. Menurutnya, kegiatan seperti ini justru banyak digerakkan oleh komunitas secara swadaya.
“Setahu saya, belum ada peran pemerintah yang benar-benar terasa nyata. Kalau saja dinas terkait atau perpustakaan daerah bisa hadir dan mendukung secara aktif, pasti dampaknya besar,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat, terutama dalam menghadirkan ruang literasi yang inklusif dan mudah diakses.
Perpustakaan Harus Adaptif
Satu kritik yang cukup menggelitik adalah mengenai waktu operasional perpustakaan daerah yang dianggap kurang adaptif. Di tengah kesibukan warga, justru jam buka yang terbatas membuat kehadiran perpustakaan tidak maksimal.
“Hari Minggu tutup, dan di hari kerja cuma buka sampai jam 3 sore. Padahal, banyak yang justru punya waktu ke perpustakaan pada sore hari atau akhir pekan,” keluh Athena.
Di tengah era digital yang serba cepat, fleksibilitas waktu dan kehadiran layanan literasi yang mengikuti kebutuhan masyarakat menjadi kunci.
Membangun Tren Baca Lewat Media Sosial
Meski menghadapi berbagai keterbatasan, Athena tetap optimistis. Ia percaya bahwa jika literasi bisa dikemas menarik dan dijadikan tren, maka efek FOMO (Fear of Missing Out) akan mendorong generasi muda kembali ke buku.
“Kalau tren baca bisa diangkat, pasti banyak yang ikut. Media sosial bisa jadi senjata promosi literasi yang efektif. Harapannya semoga semangat ini bisa istiqomah, meski beli buku sekarang juga makin mahal,” pungkasnya.
Literasi Tidak Bisa Sendirian
Pernyataan Athena menjadi cermin jernih atas realita hari ini: semangat membaca tetap menyala, tapi butuh pelita dan pelukan nyata dari mereka yang punya kuasa dan kewenangan. Gerakan literasi tidak bisa terus dibiarkan berjalan sendiri. Sudah saatnya pemerintah, khususnya dinas perpustakaan dan pendidikan, hadir lebih konkret—bukan sekadar simbolik.
Reporter: Pandhu
Editor: Redaksi HARIAN NEWS