


TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com — Diskusi buku Banjir Tulungagung: Bencana dan Penanggulangannya 1942–1986 kembali membuka ingatan lama tentang persoalan banjir yang tak kunjung tuntas.
Bertempat di Ruang Rapat Kantor DPRD Golkar Tulungagung, hampir seratus peserta memadati forum yang sejak awal dipenuhi pertanyaan kritis: mengapa masalah yang sudah dipetakan sejak era kolonial masih menghantui hingga kini?
Jairi Irawan, anggota Komisi E DPRD Jawa Timur sekaligus Ketua DPD Golkar Tulungagung terpilih, menegaskan bahwa daerah ini gagal belajar dari sejarah. Menurutnya, peringatan Hari Jadi ke-820 seharusnya dimanfaatkan untuk refleksi mendalam, bukan hanya seremoni tahunan.
“Banjir datang hampir setiap tahun. Pertanyaannya, di mana solusi yang seharusnya sudah kita miliki sejak puluhan tahun lalu?” ujarnya, Selasa (18/11/2025).
Jairi mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap hanya fokus pada persoalan jangka pendek, tanpa menyentuh akar masalah yang sesungguhnya. Tulungagung, katanya, memiliki karakter ekologis khas sebagai “kedung” yang menuntut penataan ruang dan perencanaan pembangunan jangka panjang.
“Jika kita tidak memakai perspektif masa lalu, bencana yang sama akan terus berulang dan diwariskan ke generasi berikutnya,” lanjutnya.
Golkar, tegas Jairi, siap mendukung langkah pemerintah daerah, namun tetap akan memberi catatan kritis jika kebijakan dianggap mengabaikan mitigasi struktural. “Masukan tetap akan kami sampaikan. Ini soal keselamatan warga, bukan soal politik,” ucapnya.

Penulis buku, Latif Kusairi, memaparkan bahwa banjir di Tulungagung telah tercatat sejak masa kolonial Belanda, berlanjut pada era pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan. Namun dari masa ke masa, pola penanganan yang muncul tetap sama: respons cepat, namun minim keberlanjutan.
“Data sejarah menunjukkan bahwa bencana ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ia selalu ada, tetapi kebijakannya tidak pernah benar-benar tuntas,” ujar Dosen Sejarah UIN Raden Mas Said itu.
Latif menjelaskan risetnya memakan waktu lebih dari tiga tahun, termasuk menelusuri ulang arsip dan melakukan berbagai revisi. Edisi ketiga buku ini menyoroti berulangnya kegamangan pemerintah dalam mengatasi banjir.
Diskusi semakin panas saat arkeolog budaya, Dwi Cahyono, memaparkan kondisi ekologis Tulungagung yang merupakan cekungan alami. Banyak peserta mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam pengendalian banjir, mengingat sejarah dan karakter alam wilayah ini sudah begitu jelas.
Dari berbagai komentar peserta, mengemuka satu kesimpulan penting: banjir Tulungagung bukan sekadar bencana alam, melainkan cerminan kegagalan membaca dan memanfaatkan sejarah daerah sendiri.
Bedah buku ini menjadi pengingat—sekaligus peringatan—bahwa tanpa kebijakan yang berpijak pada sejarah, Tulungagung akan terus terjebak dalam siklus bencana yang sama dari generasi ke generasi.
Jurnalis: Pandhu
Editor: Arief Gringsing
Jangan Tampilkan Lagi
Ya, Saya Mau !