

BLITAR, HARIAN-NEWS.com — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam layanan hemodialisa di RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar kembali mencuat ke ruang publik.
Isu yang sebelumnya disebut sebagai persoalan lama itu kini mengemuka setelah seorang pasien cuci darah, pensiunan PNS asal Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, meninggal dunia.
Keluarga korban menyebut almarhum tidak memperoleh layanan karena keterbatasan biaya di tengah antrean panjang.
Keluarga korban berinisial MM menuturkan, pasien sempat dihadapkan pada dua pilihan: menunggu antrean layanan hemodialisa hingga sekitar enam bulan atau mempercepat layanan dengan biaya tertentu yang disebut berasal dari oknum. Karena tidak mampu memenuhi permintaan tersebut, pasien akhirnya dibawa pulang.
“Kami tidak punya uang. Pasien dibawa pulang dan kemudian meninggal dunia,” ujar anggota keluarga korban, Senin (22/12/2025).
Pernyataan Resmi RSUD
Menanggapi isu tersebut, Ketua Dewan Pengawas RSUD Mardi Waluyo, M. Zainul Ichwan, sebelumnya menyatakan dugaan pungli merupakan isu lama sekitar lima tahun lalu dan telah dilakukan penelusuran internal tanpa menemukan bukti pelanggaran.
Namun, pernyataan tersebut berbeda dengan keterangan Wakil Direktur RSUD Mardi Waluyo, Agus Sabtoni, yang menyebutkan bahwa proses klarifikasi dan investigasi internal masih berlangsung.
“Saat ini kami masih melakukan pendalaman dengan meminta keterangan petugas ruang hemodialisa. Untuk menindaklanjuti lebih jauh, kami memerlukan bukti yang kuat,” kata Agus.
Perbedaan pernyataan ini memunculkan pertanyaan publik terkait sejauh mana penanganan dugaan tersebut dilakukan secara menyeluruh dan transparan.
Kesaksian Warga dan Dugaan Pola
Agus Sabtoni mengakui laporan serupa pernah muncul sebelumnya, meski menurut pihak rumah sakit belum terbukti dan pelayanan disebut telah berjalan sesuai Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK).
Di sisi lain, keluarga korban dan sejumlah peserta audiensi menyampaikan bahwa dugaan permintaan biaya di luar ketentuan masih mereka alami pada tahun 2025. Mereka menyebut pasien kerap diminta menunggu lama, bahkan disarankan pulang apabila tidak sanggup memenuhi permintaan tertentu untuk percepatan layanan.
Dugaan pola tersebut disebut memanfaatkan kondisi antrean panjang pasien hemodialisa. Nominal yang disebutkan bervariasi, mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah, dengan penyesuaian terhadap kemampuan ekonomi pasien. Informasi ini masih berupa kesaksian dan belum dibuktikan secara hukum.
Dorongan Pengusutan dan Transparansi
Pihak manajemen RSUD Mardi Waluyo menyatakan siap menempuh jalur hukum apabila ditemukan bukti pelanggaran. Publik dan keluarga korban berharap proses penelusuran dilakukan secara objektif dan terbuka, termasuk melibatkan aparat penegak hukum jika diperlukan.
Kasus ini dinilai menjadi ujian serius bagi sistem pelayanan kesehatan publik, khususnya bagi pasien penyakit kronis yang sangat bergantung pada layanan rutin. Masyarakat Blitar menantikan kejelasan dan langkah konkret agar pelayanan kesehatan dapat berjalan adil, manusiawi, dan sesuai ketentuan hukum.
Jurnalis Etok
Editor Arief Gringsing
Jangan Tampilkan Lagi
Ya, Saya Mau !