
Oleh : Imam Mawardi Ridlwan
TULUNGAGUNG, HARIAN- NEWS.com –
Senin siang, 13 Oktober 2025. Di aula Hotel Syariah Surakarta, suasana teduh menyelimuti pertemuan seratus kyai dan seratus pengusaha dalam jamuan makan siang Majlis Al Muwasholah bersama Habib Umar Bin Hafidz.
Di tengah kehangatan spiritual itu, sebuah pesan WhatsApp mengusik ketenangan saya:
“Kyai, info MBG, di SMPN 1 Boyolangu, ada siswa yg keracunan.”
Pukul 13.29 WIB. Kegelisahan menyergap. Saya teringat bahwa hari itu, Dapur SPPG Kedungwaru Tulungagung menyajikan sate ayam sebagai menu MBG. Menu ini bukan keputusan spontan.
Ia lahir dari musyawarah antara Kasatpel SPPG Mbak Yanita, ahli gizi Mbak Yeni, dan saya sendiri. Kami ingin memberikan yang terbaik, dengan niat tulus dan khidmat.
Sate ayam bukan menu instan. Ia ribet. Harus membakar arang di dapur SPPG. Harus teliti dalam pemorsian. Harus sabar dalam pemisahan sambal dan lauk. Tapi kami percaya: sate ayam layak disajikan di asupan MBG.
Saya segera mengirim pesan kepada para pejuang dapur:
“Apakah hari ini berjalan lancar? Ataukah ada kendala?”
Jawaban mereka menenangkan:
“Hingga saat ini, tidak ada keluhan dari penerima manfaat.”
Ketika akan menentukan menu sate, Mbak Yanita, kepala SPPG, bertanya, “Apakah cukup dana untuk menyajikan menu sate ayam?”
Saya jawab, “Cukup dan berkah. Semoga lancar.”
Karena cukup itu bukan soal angka.
Cukup itu dimulai dari niat. Cukup itu karena kita berkhidmat. Cukup itu karena ada kasih sayang. Cukup itu dibarengi rasa syukur.
Selasa, (14/10/2025), saya bertemu Mbak Yeni, ahli gizi SPPG Kedungwaru Tulungagung. Ia menyampaikan bahwa para murid sangat senang. Hampir semua sajian habis. Ia menunjukkan foto sajian MBG Kedungwaru yang dimuat di Instagram BGN.
Bukan sekadar dokumentasi. Tapi pesan ketulusan, “Anggaran sepuluh ribu dapat dimaksimalkan jika semua jujur dan tulus. Sate ayam juga layak disajikan di asupan MBG.”
Setiap ompreng diisi sesuai jenjang:
– Murid SD kelas kecil: 3 sunduk
– Murid SD kelas besar & SMP: 4 sunduk
– Murid SMA: 5 sunduk
Mbak Yeni, ahli gizi SPPG Kedungwaru Tulungagung, berkisah tentang proses membakar sate, pemorsian, dan pemisahan sambal. Menurutnya, menyajikan sate ayam membutuhkan kerja tim yang teliti dan penuh cinta.
Para relawan bukan sekadar petugas dapur. Mereka adalah orang tua para murid. Mereka menjaga amanah untuk melayani generasi Indonesia.
Foto sajian asupan MBG SPPG Kedungwaru Tulungagung yang dimuat di Instagram BGN menjadi saksi ketulusan para relawan dapur SPPG. Dari dapur yang sangat sederhana, lahir nilai-nilai besar:
– Kejujuran
– Kecintaan
– Pengkhidmatan
Inilah jalan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan penerima manfaat atas sajian MBG.
Saya sampaikan pesan khusus kepada Mbak Yeni:
“Rawat terus khidmat yang tulus. Tingkatkan kerja tim yang tulus untuk generasi emas.”
Karena MBG bukan sekadar program gizi.
Ia adalah ladang amal. Ladang pendidikan. Ladang pembentukan karakter bangsa.
Semoga setiap butir nasi, setiap tusuk sate, dan setiap senyum relawan menjadi saksi bahwa bangsa ini masih punya harapan.
Asalkan dijaga niatnya. Dijaga khidmatnya. Dijaga amanahnya.
*Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam