
SPPG MBG Polres Tulungagung melayani RA Roudlotul Ulum dan PAUD Asy-Syahid
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com – Ada yang berbeda di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Polres Tulungagung, 11–12 September 2025 lalu. Senyum anak-anak RA Roudlotul Ulum dan PAUD Asy-Syahid yang lahap menyantap menu Program Makan Bergizi (MBG) menjadi gambaran sederhana, namun sarat makna: kolaborasi gizi lintas negara resmi dimulai dari kota kecil di Jawa Timur ini.
Kerja sama antara Badan Gizi Nasional (BGN) Indonesia dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) bukan sekadar seremoni.
Kehadiran tim ahli gizi JICA, dipimpin Ryu Nakahira, menunjukkan langkah konkret bagaimana pengalaman Jepang selama lebih dari 135 tahun menjalankan program makan bergizi sekolah (kyushoku) bisa menjadi rujukan bagi Indonesia yang masih berhadapan dengan masalah malnutrisi dan stunting.
“Kami sangat terkesan melihat senyum anak-anak menikmati makanan MBG. Inilah bukti paling kuat bahwa program ini punya dampak nyata,” ujar Nakahira.
Ia menambahkan, sejak 1889 Jepang telah menjadikan program makan bergizi di sekolah sebagai instrumen pembangunan manusia. “Pengalaman itu akan kami bagikan ke Indonesia,” katanya.
Mengapa Dimulai dari Polres Tulungagung?
Pertanyaan muncul: mengapa pilot project ini justru bermula dari institusi kepolisian, bukan sekolah atau puskesmas?
Kapolres Tulungagung, AKBP Muhammad Taat Resdi, menegaskan bahwa Polres berkomitmen mendukung MBG demi membentuk generasi unggul menuju Indonesia Emas 2045.
Namun, sejumlah pemerhati kebijakan gizi menilai kehadiran kepolisian dalam ranah gizi perlu dicermati. Apakah ini sekadar langkah simbolis untuk memperluas citra institusi, atau benar-benar memiliki mekanisme jangka panjang yang bisa direplikasi di berbagai daerah?
Krisis Gizi yang Menganga
Indonesia masih menghadapi tantangan serius: prevalensi stunting yang tinggi, akses pangan bergizi yang belum merata, serta lemahnya rantai pasok di daerah.
Jika Jepang mampu konsisten menjalankan kyushoku selama lebih dari satu abad, pertanyaan besarnya: mampukah Indonesia menjaga keberlanjutan MBG tanpa tergantung pada proyek donor?
Tantangan terbesar bukan sekadar menyediakan menu bergizi sesaat, melainkan membangun sistem yang terintegrasi: bahan baku lokal, pengawasan mutu yang ketat, serta dukungan pendanaan pemerintah yang berkelanjutan. Tanpa itu, MBG berisiko berhenti sebagai proyek uji coba, bukan gerakan nasional.
Momentum Indonesia Emas 2045
Kerja sama dengan JICA jelas penting. Jepang datang dengan modal pengalaman panjang dan infrastruktur pengetahuan yang matang. Namun, pengalaman itu tidak bisa ditransfer mentah-mentah. Indonesia harus menyesuaikan dengan konteks sosial, budaya, dan tantangan politik anggaran.
Jika visi Indonesia Emas 2045 ingin benar-benar terwujud, investasi pada gizi anak usia dini mutlak diperlukan. Data menunjukkan, satu dari empat anak Indonesia masih mengalami stunting. Tanpa perbaikan serius, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi.
Sinergi atau Simbolisme?
Kerja sama Jepang–Indonesia di Tulungagung ini bisa dibaca dalam dua arah. Pertama, optimistis: sebagai model sinergi lintas sektor dan lintas negara yang mampu mempercepat perbaikan gizi nasional.
Kedua, pesimistis: hanya sebatas seremoni diplomatik yang tidak menyentuh akar masalah, yakni tata kelola anggaran, distribusi pangan, dan komitmen politik jangka panjang.
Yang jelas, senyum anak-anak Tulungagung telah menjadi simbol. Namun simbol saja tidak cukup. Jika pemerintah ingin program MBG menjadi gerakan nasional, ia harus memastikan setelah Jepang pergi, sistem ini tetap hidup—bukan mati di atas kertas laporan proyek.
Jurnalis: Pandhu
Editor Tanu Metir