160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT
banner hut ri

Penerapan Kurikulum Merdeka di Kota Kediri Mendekati 100 Persen

Penerapan Kurikulum Merdeka di Kota Kediri

KEDIRI,HARIAN-NEWS.com —  Kurikulum merdeka sejatinya merupakan kurikulum baru di Indonesia namun sudah digunakan secara luas sekolah sekolah di Kota Kediri, pelaksanaan mendekati 100 persen patut mendapat apresiasi.

Hal itu, disampaikan Marsudi Nugraha, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Kediri .

Dia juga menyampaikan serapan IKM (Implementasi Kurikulum merdeka) di kota ini juga bagus, hal ini ditunjukan dengan PMM sudah diatas 75 persen bahkan untuk SMP sudah mencapai 98 persen

Mantan kepala sekolah SMP 1 Kediri ini, menambahkan, dengan adanya sekolah penggerak yang di tahun 2021sudah melaksanakan, kini memberi pelatihan kepada sekolah sekolah yang masih belum melaksanakan IKM, sehingga ditahun 2022 saat ini diharapkan semua sudah dapat menggunakan IKM.

750 x 100 AD PLACEMENT

Kurikulum Merdeka yang telah diuji coba pada 2.500 sekolah penggerak. Salah satu keunggulan Kurikulum Merdeka ini, yaitu lebih sederhana dan mendalam. Menurut rencana, kurikulum ini akan digunakan secara nasional mulai 2024 mendatang.

Kurikulum Merdeka ini harus dilihat sebagai salah satu saja dari upaya Kemdikbudristek melakukan transformasi pendidikan secara lebih menyeluruh, ya. Yang kita upayakan adalah perubahan sistemik, bukan perubahan parsial atau yang temporer, namun mendasar pada sistem pendidikan sendiri, yang tadinya dari banyak elemen, nah salah satunya kurikulum.

Tetapi, perubahan kurikulum sendiri tidak cukup untuk menghasilkan apa yang kita inginkan, harus sistemik. Jadi ini salah satu saja, ada komponen lain. Sistem evaluasi dan penjaminan mutu pendidikan itu kita bongkar, tata ulang secara sangat mendasar. Ada Asesmen Nasional, Rapor Pendidikan, ada perencanaan berbasis data di tingkat sekolah dan pemda, itu satu paket besar reform lainnya terkait bagaimana kita mengevaluasi dan penjaminan mutu pendidikan. Ada akreditasi juga di sana.

Komponen besar lainnya juga adalah guru. Bagaimana kita menyeleksi guru, memberi kesempatan belajar, pelatihan, baik in service maupun pre service terhadap guru, itu satu gigantic reform lainnya.

750 x 100 AD PLACEMENT

 

Di sisi lain, ada juga penataan terhadap pendanaan, infrastruktur, itu juga hal yang luar biasa besar dan menjadi satu paket desain besar Merdeka Belajar.

Kalau tentang pendanaan tadi, kalau ada kesempatan ke media, selalu saya sampaikan karena jarang disorot media. Karena ini juga reform luar biasa. Misalnya, terkait bagaimana kita memberi subsidi pada sekolah. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tadinya seragam besarannya seluruh Indonesia kini sudah jadi majemuk.

Semakin sekolah terpencil, semakin aksesnya sulit, bantuan yang diterima dari perintah baik swasta atau negeri jadi meningkat. Ada puluhan kota dan kabupaten yang peningkatan besaran dana BOS-nya hingga puluhan persen, bahkan 100 persen lebih. Sekitar 370 kota/kabupaten lebih yang mengalami peningkatan subsidi secara signifikan karena wilayahnya sulit dijangkau.

750 x 100 AD PLACEMENT

RUU Sisdiknas dan Tanggung Jawab Negara

Kini prinsip pemerataan sebagai hasil. Yang kita inginkan itu pemerataan kualitas, bukan hasilnya. Nah ini tidak bisa kita capai dengan penyeragaman intervensi dan program, kebijakan, itu harus bervariasi, harus konstektual, tidak bisa disamaratakan. BOS selama ini disamaratakan, di pelosok nun jauh di sana, bensin mahal, harga bahan bangunan berkali-kali lipat. Alat tulis lebih mahal, kok bantuannya sama dengan yang diterima sekolah kebanyakan di Jaksel, kan enggak pas ya.

Jadi kembali ke kurikulum, prinsip yang sama kita terapkan. Kebijakan kurikulum kita terlalu sentralistik. Kita berasumsi bahwa supaya kualitasnya sama, maka semuanya harus ditetapkan di pusat. Semua harus di-standarisasi secara ketat dari pusat, dari Kemendikbudristek. Itu niatnya betul, bagus untuk mengurangi kesenjangan kualitas antardaerah, antarsekolah.

Tetapi kurikulum yang cocok untuk SD yang anaknya datang ke sekolah masih belum sarapan, atau di rumah belum kenal buku, belum ngobrol dengan ortunya, apakah kurikulum yang cocok bagi mereka itu kurikulum yang cocok bagi mereka di SD kota besar yang anak-anaknya sudah punya keterampilan belajar, pengalaman dengan dunia literasi lebih kaya. Jawabannya, mereka butuh kurikulum yang berbeda.

Karena itu, kita butuh mereformasi kurikulumnya. Kurikulum Nasional seharusnya jadi kerangka saja, kerangka yang jadi benang merah ke-Indonesia-an. Tetapi kerangka itu harus memberi ruang kepada kontekstualisasi pembelajaran yang sesuai dengan anak-anak yang dilayani di sekolah itu. Selama itu tidak terjadi, selama kita inginnya menyeragamkan secara terpusat, otomatis sebenarnya sekolah itu seringkali dipaksakan menerapkan pembelajaran yang seringkali tidak cocok dengan anak-anak murid.

Jadi kalau ditanya urgensinya apa me-reform kurikulum, urgensinya itu. Salah satunya adalah perlu memberi ruang untuk kontekstualisasi pembelajaran di tingkat sekolah.

Urgensi kedua, tidak ada pemerhati pendidikan di Indonesia yang tidak sepakat bahwa pendidikan di Indonesia itu terlalu akademik. Pendidikan karakternya kurang, pendidikan budi pekerti masih lemah, dari banyak sekali pihak menyatakan demikian, kita sepakat sekali. Tetapi yang tidak dilakukan adalah menrjemahkan itu menjadi kebijakan kurikulum.

Kalau kurikulum itu 100 persen jam pelajaran masih konten akademik, sampai kapan pun pembelajaran pengembangan karakter itu jadi afterthought, menjadi sesuatu yang syukur-syukur kalau dikerjakan. Itu yang ditambahkan di Kurikulum Merdeka.

Jadi satu, kita serius mengurangi konten akademik. Harus ada yang dikorbankan, dan yang terpaksa kita korbankan adalah kontek akademik di tiap mata pelajaran. Yang kita wajibkan dari pusat adalah konten akademik yang esensial saja di tiap mata pelajaran.

Pengurangannya bisa cukup signifikan, 20-30 persen, materinya lebih sedikit dibanding Kurikulum 2013. Ini adalah prasyarat. Kalau tidak mengurangi konten akademiknya, mana ada waktu melakukan pengembangan karakter, pengembangan kompetensi. Ini urgensi yang kedua: kenapa kita perlu mengganti kurikulum nasional, karena kita perlu memberi ruang pada pendidikan karakter dan budi pekerti.

Di Kurikulum Merdeka, konten akademik dikurangi 20-30 persen. Jam pelajaran didedikasikan untuk pengembangan karakter. Jadi pembelajaran interaktif, berkelompok, membuat karya seni bersama, bikin project kewirausahaan, penanganan masalah sampah di sekolah, itu sekarang bukan ekstrakurikuler, tetapi intrakurikuler. Dari 20-30 persen kita kosongkan karena berhasil mengurangi konten akademik itu, kita dedikasikan pada pengembangan karakter ini.

PISA 2018, untuk siswa Indonesia skor matematika mencapai 379 dengan di bawah skor rata-rata 487. Sementara untuk sains, siswa Indonesia mencapai 389 juga di bawah dengan skor rerata 489. Pengurangan 20-30 persen yang disebutkan di atas apa tidak menambah defisit pengetahuan bidang Science, Tech, Engineering and Math?

Bedakan antara keluasan dan kedalaman. Yang kita kurang itu adalah kedalaman pemahaman, bukan keluasan konten. Konten itu sekarang at our fingertips, tinggal Google. Fakta, informasi, itu membanjiri. Kita jangan melakukan kesalahan terus menerus bahwa perubahan kurikulum artinya penambahan konten karena adanya perkembangan zaman.

Kita nggak akan pernah bisa mengejar laju pertumbuhan. Yang bisa dan harus kita lakukan adalah menumbuhkan dan menguatkan daya nalar anak-anak, termasuk di bidang STEM.

Ketika butuh konten yang tidak diajarkan di sekolah, mereka tahu cara menggali, menganalisis, menciptakan konten baru. Jadi fokusnya tidak boleh lagi soal memperbanyak konten, tetapi menajamkan daya nalar terkait konten apapun.

Makin banyak konten, tidak serta merta memperdalam pengetahuan siswa?

Justru sebaliknya. Makin banyak konten, makin sulit kedalamannya, ada trade off, dan kita harus pilih yang mana. Masing-masing siswa ini akan banyak sekali dong yang harus disediakan sekolah?

Ya, perubahan paling kompleks ada di tingkat SMA, karena ingin penjurusan itu ada di level individu siswa, tidak IPA IPS general saja. Ini mengakomodasi minat anak ketimbang secara garis besar, agar anak yang dirilis ke teknik misalnya, bisa belajar Matematika dan Fisika. Kimia dan Biologi mungkin tidak terlalu relevan dan dia tidak senang juga. Kini kan harus dipelajari.

Dengan Kurikulum Merdeka, ini tidak terjadi. Bisa fokus mata pelajaran pendukung juga seperti Bahasa Inggris. Ini terus kita evaluasi, perlu kreativitas dan inisiatif teman-teman guru SMA dan MA untuk menerjemahkan. Salah satunya dengan paket itu.

Tetapi, kita tidak memaksa sekolah menyediakan semua, sesuai resources sekolah saja.

Karena berpengaruh ke perimbangan beban kerja guru juga, ya? Ya, betul. Ini beban kepala sekolah dan bidang kurikulum untuk membuat tata pembelajaran.

Lalu bagaimana mengakomodasi minat studi anak di sekolah yang terbatas resourcesnya?

Di sekolah itu ada guru IPA dan IPS, jurusan yang hampir semua sekolah buka. Jadi, menyediakan opsi mata pelajaran IPA dan IPS itu hampir semua sekolah bisa melakukan sekarang. Paling tidak, anak yang minatnya saintek soshum bisa terakomodasi di sebagian besar sekolah.

Nah, yang langka itu bahasa, bahasa asing. Beberapa mata pelajaran humaniora juga. Tetapi sesuai demand sekolah juga. Kami di Kemdikbudristek pada prinsipnya tidak memaksa sekolah menyediakan mata pelajaran yang mereka selama ini tidak punya resources untuk mengajarkannya.

Karena penerapan Kurikulum Merdeka di semua sekolah ini perlu adaptif juga bagi sekolahnya. Jadi jangan sampai Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional ini hanya bisa diterapkan di sekolah yang sudah punya resources semuanya.

Kemudian ada pembelajaran berbasis project. Karena kita mengurangi konten akademik, jam pelajaran itu sebagian didedikasikan ke sana. Ruangnya sangat merdeka, bisa dirancang sesuai minat-bakat anak. Nggak ikut mata pelajaran ini, bukan Matematika, Pancasila, ini bisa lintas pelajaran. Sekolah bisa gunakan ruang ini untuk minat anak yang tidak tertampung.

Jika anak senang olahraga, seni, wirausaha, buat project terkait itu. Ini ruang yang sengaja diciptakan di Kurikulum Merdeka untuk diadaptasi dan dikreasikan sekolah dan guru untuk menstimulasi secara holistik, jadi bisa beragam sisi anak yang disentuh pembelajaran berbasis project.

 

 

 

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
Ayo ikut berpartisipasi untuk mewujudkan jurnalistik berkualitas!
Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !