
Oleh: *Muhammad Iqbal Ifansyach
HARIAN- NEWS.com – Ada kalanya seseorang sering disebut, tapi belum sungguh dikenal. Begitulah saya pertama kali mendengar nama Arif Rasyid Hasan, tokoh muda yang pernah memimpin Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI).
Sebelum menjabat Ketua Umum PB HMI, Arif telah dikenal sebagai sosok visioner. Lahir di Makassar, 27 September 1986, ia menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Hasanuddin. Namun, di balik profesinya sebagai dokter, kiprahnya di dunia kepemudaan jauh lebih menonjol. Saat terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI dalam Kongres XXIX di Pekanbaru tahun 2013, ia menjadi salah satu ketua umum termuda dalam sejarah HMI.
Saya mengenalnya lebih dulu dari cerita para senior, potongan video di media sosial, dan tulisan reflektif tentang gaya kepemimpinannya. Namun, pertemuan langsung dengan beliau di Latihan Kader II (LK2) Cabang Persiapan Lamongan mengubah cara pandang saya tentang kepemimpinan, keislaman, dan keintelektualan.
Pertemuan yang Mengubah Perspektif
Hari itu, suasana forum dipenuhi semangat intelektual. Kami datang dari berbagai cabang dan komisariat dengan satu niat: menimba ilmu dan meneguhkan jati diri kader HMI. Saat nama Arif disebut sebagai pemateri utama, ruangan seketika hening. Ia hadir dengan pembawaan tenang, senyum ramah, dan bahasa tubuh sederhana namun berwibawa.
Dalam materinya, Arif membahas “Kontribusi Kader HMI dalam Menjemput Indonesia Emas 2045.” Kalimat itu terdengar seperti seruan moral bagi saya yang saat itu masih mencari arah perjuangan.
Ia tidak bicara slogan, tetapi visi besar yang membumi: kader HMI harus menjadi problem solver, bukan sekadar pengkritik.
“Kader HMI tidak boleh hanya pandai berdiskusi di forum, tapi harus pandai berdiri di medan kontribusi,” katanya tegas.
Kalimat itu menancap kuat di hati saya — pengingat bahwa intelektualitas tanpa aksi hanyalah wacana hampa.
Arif Rasyid: Sosok dan Gagasan
Bagi banyak kader, Arif Rasyid adalah figur pemimpin muda yang memadukan spiritualitas, nasionalisme, dan intelektualitas dalam satu tarikan napas perjuangan. Dengan latar religius dan pengalaman organisasi panjang, ia membangun gaya kepemimpinan yang rasional namun sarat nilai kebangsaan.
Ia menolak kepemimpinan yang hanya mencari pengikut. Baginya, pemimpin harus menumbuhkan kesadaran kritis. HMI, kata Arif, tidak hanya melahirkan cendekiawan muslim, tetapi pelopor perubahan sosial.
“Islam bukan sekadar identitas, melainkan energi moral untuk menebar manfaat,” ucapnya suatu kali.
Di situlah letak keistimewaannya: ia menggabungkan nilai spiritual dengan kepekaan sosial, menyalakan intelektualitas tanpa kehilangan arah keummatan.
Kepemimpinan yang Mendidik Lewat Keteladanan
Arif bukan tipe pemimpin yang bicara perubahan tanpa aksi. Ia mendidik lewat keteladanan dan kesederhanaan. Ia membuka ruang dialog, bukan monolog. Ketika berbicara, ia menuntun — bukan menggurui.
Dalam setiap forum, ia menegaskan bahwa kader HMI harus menjadi bagian dari solusi bangsa. Ia percaya, generasi penjemput Indonesia Emas 2045 harus memiliki tiga kekuatan utama:
1. Kekuatan spiritual — iman dan moralitas;
2. Kekuatan intelektual — nalar kritis dan kapasitas ilmu;
3. Kekuatan sosial — kemampuan berjejaring dan berkontribusi nyata.
Kepemimpinan model inilah yang menumbuhkan, bukan menuntut. Ia mengajarkan bahwa motto Yakin Usaha Sampai bukan hanya slogan, tapi semangat yang harus dihidupkan dalam tindakan.
Menyalakan Semangat Juang
Dalam sesi tanya jawab LK2 itu, saya sempat bertanya, “Bang Arif, bagaimana caranya seorang kader HMI memiliki semangat juang yang tinggi dan bermanfaat untuk umat dan bangsa?”
Ia tersenyum, lalu menjawab pelan:
“Semangat juang tidak datang dari luar, tapi dari kesadaran siapa dirimu dan untuk apa kamu hidup. Kalau kamu tahu untuk apa kamu belajar dan berjuang, semangat itu tidak akan padam.”
Jawaban itu sederhana tapi dalam. Ia mengingatkan bahwa HMI hanyalah jalan, bukan tujuan, karena tujuan sejati adalah pengabdian kepada umat dan bangsa.
Kontribusi Kader untuk Indonesia Emas
Dalam pemikiran Arif, Indonesia Emas 2045 bukan hanya cita-cita politik, tapi cita-cita peradaban. Bangsa besar hanya lahir dari manusia yang berilmu dan berakhlak. Karena itu, ia selalu menekankan pembangunan manusia — bukan sekadar infrastruktur fisik, tapi infrastruktur moral dan mental.
Ia kerap mengingatkan bahwa peran kader HMI adalah menjembatani idealisme dan realitas. Pemimpin sejati tidak selalu berada di jabatan struktural, tapi hadir melalui karya dan integritas.
“Kalau kader HMI ingin berperan menuju Indonesia Emas, tingkatkan dulu kualitas manusianya — bukan kuantitas keanggotaannya,” katanya.
Dari HMI ke Gerakan Kebangsaan
Satu hal yang saya kagumi, Arif menolak dikotomi antara Islam dan kebangsaan. Baginya, keislaman dan keindonesiaan adalah dua sisi mata uang yang saling menguatkan.
“Kita tidak perlu menjadi orang yang paling Islam di ruang publik, tapi jadilah orang yang paling berguna bagi bangsa karena keislamanmu,” ujarnya.
Itu menunjukkan betapa inklusif dan moderat cara berpikirnya. Ia ingin kader HMI menjadi jembatan antara nilai dan aksi, antara idealisme dan realitas.
Refleksi Pribadi: Belajar dari Nilai, Bukan Sekadar Nama
Sepulang dari forum LK2 Lamongan, saya menyadari bahwa menjadi kader HMI bukan hanya soal pelatihan atau diskusi, tapi tentang menyiapkan diri menjadi bagian dari sejarah bangsa.
Arif mengajarkan bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang konsisten. Indonesia Emas 2045 bukan soal siapa yang akan memimpin, tapi siapa yang siap memimpin. Dan kesiapan itu dibangun dari karakter, disiplin, dan keteguhan nilai.
“Kader HMI bukan hanya pembelajar, tapi juga pejuang. Pejuang sejati tidak berhenti karena lelah, tapi baru berhenti ketika tugasnya selesai.”
Penutup: Mewarisi Spirit Kepemimpinan
Arif Rasyid mungkin bukan satu-satunya tokoh yang berbicara tentang Indonesia Emas 2045, tetapi cara beliau menanamkan gagasan itu berbeda: sederhana, membumi, dan menggugah kesadaran.
Ia bukan pemimpin yang memaksa kagum, tapi membuat orang ingin tumbuh. Bagi saya, beliau adalah simbol pemimpin muda yang berhasil menjembatani idealisme kader HMI dengan realitas kebangsaan — tanpa kehilangan ruh keislaman dan keintelektualannya.
Kini tugas generasi muda bukan hanya mengagumi sosoknya, tetapi melanjutkan nilai yang ia wariskan: menjadi kader beriman, berilmu, dan beraksi.
“Indonesia Emas 2045 bukan janji,” kata Arif menutup forum hari itu, “tetapi tanggung jawab kita semua.”
Penulis *Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Kabid Pembinaan Anggota HMI Koorkom UMM