160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Lomba Reog Kendang Kreatif 2025, Saat Anak-anak Menyelamatkan Tari Reog Kendang

Reog Kendang

TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com — Suara kendang bertalu-talu menggema dari Balai Taman Budaya Tulungagung, Selasa (14/10/2025). Di atas panggung, anak-anak sekolah dasar menari penuh semangat dengan wajah berpeluh dan mata menyala. Mereka menarikan Reog Kendang, bukan sekadar untuk lomba, tetapi sebagai penegasan bahwa budaya lokal belum mati di tengah arus modernisasi yang kian deras.

 

750 x 100 AD PLACEMENT

Lomba Reog Kendang Kreatif 2025 yang digelar Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung melalui UPT Taman Bina Bakat dan Kompetensi Siswa (TB2KS) itu diikuti 216 siswa dari 19 kecamatan. Namun, satu kecamatan akhirnya mundur di detik-detik akhir pelaksanaan.

Di balik sorak sorai penonton, terselip pertanyaan mendasar: sejauh mana pembinaan non-akademik seperti ini mampu membentuk karakter dan menjaga warisan budaya daerah?


Foto: Kepala UPT Taman Bina Bakat dan Kompetensi Siswa (TB2KS) Tulungagung, Ririn Andri Wikanthi, SP., MM., saat ditemui di ruang kerjanya membahas pelaksanaan Lomba Reog Kendang Kreatif 2025.

Pelestarian di Tengah Keterbatasan
Kepala UPT TB2KS Tulungagung, Ririn Andri Wikanthi, SP., MM., menyebut Reog Kendang sebagai ikon kebanggaan daerah yang bukan hanya dipentaskan, tetapi juga dihidupi oleh para siswa dan guru pembinanya.
“Kalau tari dan pedalangan, anak-anak kita sudah sering ke tingkat nasional. Bahkan dalang pernah juara nasional dua kali,” ujarnya bangga.

Menurut Ririn, seluruh peserta yang tampil merupakan hasil seleksi ketat di tingkat kecamatan. Namun, keterbatasan anggaran membuat pelaksanaan tahun ini harus dipecah menjadi dua sesi—Reog untuk jenjang SD dan Karawitan untuk SMP.
“Ada pengurangan anggaran, jadi kami batasi. Tapi semangatnya tetap sama: mempertahankan yang lokal di tengah yang global,” ujarnya.

750 x 100 AD PLACEMENT

Pernyataan Ririn membuka sisi lain dari euforia budaya: pembinaan seni tradisi masih kerap dianggap agenda seremonial tahunan, belum menjadi program berkelanjutan dengan arah dan indikator keberhasilan yang jelas.

Ketimpangan di Lapangan
Meski TB2KS mencatat sejumlah prestasi, belum ada peta jalan konkret untuk menyalurkan bakat siswa setelah lomba usai. Tidak semua sekolah memiliki sumber daya dan dukungan yang sama, terutama sekolah swasta.
“Tahun lalu sekolah swasta justru sempat juara harapan tiga. Tapi tahun ini mereka tidak ikut karena semua biaya ditanggung sekolah sendiri,” ujar Ririn lirih.

Kondisi itu menegaskan ketimpangan pembinaan di lapangan—bahwa pelestarian budaya sering bergantung pada semangat guru dan inisiatif lokal, bukan pada sistem yang mapan.

Nilai Karakter dalam Tabuhan Kendang
Ririn menegaskan, kegiatan ini juga menjadi sarana pendidikan karakter. “Anak-anak yang ikut seni tradisi biasanya lebih sopan dan tahu unggah-ungguh. Mereka belajar sabar dan telaten, karena proses seni itu tidak instan,” katanya.

750 x 100 AD PLACEMENT
Penampilan Tari Reog Kendang

Pernyataan itu menjadi sindiran halus bagi sistem pendidikan modern yang kian menyingkirkan nilai-nilai kesabaran, ketekunan, dan penghormatan—nilai yang justru tumbuh subur lewat kesenian tradisional.

Jangan Hanya Jadi Ritual Tahunan
Pertanyaannya kemudian, apakah sistem pendidikan daerah siap menjadikan seni tradisi sebagai bagian integral dari kurikulum karakter? Ataukah Reog Kendang hanya akan terus menjadi ritual tahunan tanpa arah kebijakan yang lebih dalam?

Program seperti Reog Kendang Kreatif seharusnya menjadi laboratorium budaya, tempat siswa tak hanya tampil, tetapi juga belajar filosofi, sejarah, dan makna di balik setiap gerak dan tabuhan. Sayangnya, banyak kegiatan kebudayaan masih berhenti di panggung lomba, belum menjelma sebagai pendidikan berkelanjutan.

Menjaga yang Lokal di Tengah yang Global
Tulungagung patut berbangga, tetapi juga perlu bercermin. Sebab pelestarian budaya bukan hanya soal kostum gemerlap atau piala lomba, melainkan memastikan bahwa di balik dentum kendang itu tumbuh kesadaran kolektif untuk menjaga identitas lokal.

Sebab bila seni hanya dirayakan tanpa dibina, suatu hari nanti ketika kendang berhenti ditabuh dan panggung sepi, yang tersisa hanyalah gema—gema dari budaya yang perlahan dilupakan.

Jurnalis: Pandhu
Editor Tanu Metir

 

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
Ayo ikut berpartisipasi untuk mewujudkan jurnalistik berkualitas!
Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !