160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Kita Selalu Sigap, Tapi Nyaris Selalu Terlambat

Muhammad Anwarul ‘Izzat saat di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso Tulungagung, Jawa Timur

Oleh: Muhammad Anwarul ‘Izzat, Wasekjend PB PMII Bidang Kaderisasi Nasional

JAKARTA, HARIAN- NEWS.com – Setiap kali bencana atau wabah datang, kita selalu tampak luar biasa sigap. Pemerintah menggelar konferensi pers yang megah, pejabat turun ke lokasi dengan rompi khusus, dan bantuan logistik berdatangan. Namun di balik kesibukan yang seolah heroik itu, ironi sulit dibantah: kita selalu terlambat. Kita baru bergerak ketika korban sudah berjatuhan, rumah hanyut, dan penyakit menyebar luas.

Muhammad Anwarul ‘Izzat, putra Tulungagung yang masuk jajaran PB PMII, menyampaikan sambutan usai melantik pengurus PC PMII Tulungagung di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso Tulungagung, Jawa Timur.

Sebagai seseorang yang belajar Kesehatan Masyarakat dan berkecimpung dalam aktivisme PMII, saya semakin yakin bahwa bangsa ini terlalu nyaman hidup dalam pola pikir reaktif-kuratif. Kita bangga pada kecepatan penanganan, tetapi abai pada pencegahan yang seharusnya menjadi fondasi.

Kuratif Masih Primadona, Preventif Hanya Figuran
UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 sebenarnya memberi harapan perubahan melalui “paradigma sehat”. Negara dimandatkan memprioritaskan promotif dan preventif. Tetapi praktik di lapangan belum mencerminkan semangat itu.

750 x 100 AD PLACEMENT

Laporan Kemenkes 2024 menunjukkan 74 persen anggaran kesehatan nasional masih tersedot ke layanan kuratif. Program promotif–preventif hanya menerima seperempatnya. Padahal determinan kesehatan banyak dipengaruhi faktor luar fasilitas medis: sanitasi, perilaku, lingkungan, dan akses informasi.

Tak heran beban penyakit terus berulang. WHO mencatat 70 persen kematian di Indonesia disebabkan Penyakit Tidak Menular—sebagian besar bisa dicegah. Kasus demam berdarah meningkat, TBC tetap tinggi. Kita datang terlambat karena sibuk mengobati, bukan mencegah.

Refleksi Kebencanaan: Sibuk Menolong, Jarang Mencegah
Pola serupa juga tampak dalam penanganan bencana. BNPB mencatat Indonesia menghadapi lebih dari 3.000 bencana setiap tahun. Kerugian ekonomi mencapai Rp22 triliun. Namun ironisnya, anggaran mitigasi hanya 8–12 persen. Sisanya habis untuk penanganan darurat dan rehabilitasi.

Pertanyaannya sederhana: mengapa kita mau menghabiskan uang besar untuk membenahi kerusakan, tetapi sangat pelit untuk pencegahan yang jauh lebih murah?

750 x 100 AD PLACEMENT

Sebagai kader PMII, saya sering bertanya: apakah kita bangsa yang gemar aksi heroik besar, namun malas melakukan langkah kecil yang menyelamatkan nyawa?

Bencana di Sumatera dan Pelajaran yang Mestinya Sudah Kita Pahami
Bencana yang melanda Sumatera beberapa hari terakhir kembali menguji kesadaran kita. Ratusan rumah rusak, puluhan desa terisolasi, lebih dari 2.000 warga mengungsi. Curah hujan ekstrem memang tinggi, mencapai 150–200 mm per hari. Namun hujan bukan satu-satunya penyebab.

Data KLHK menunjukkan deforestasi di beberapa kabupaten meningkat hingga 23 persen dalam lima tahun terakhir. Drainase buruk, tata ruang lemah, dan 47 persen permukiman berada di zona rawan. Bencana bukan sekadar musibah alam, melainkan akumulasi pilihan pembangunan yang mengabaikan risiko.
Ketika banjir datang, kita sigap mengevakuasi dan mengirim logistik. Tetapi sedikit yang berani menyentuh akar masalah: lemahnya tata ruang, pengawasan lingkungan yang setengah hati, dan orientasi pembangunan yang lebih mengikuti selera proyek ketimbang keselamatan warga.

Mengapa Paradigma Preventif Tidak Bisa Ditawar?
Beragam studi sudah terang-benderang menunjukkan manfaat pencegahan. Bappenas menyebut setiap satu rupiah untuk mitigasi dapat menghemat empat hingga tujuh rupiah biaya pemulihan. WHO menyatakan penguatan promotif–preventif dapat menurunkan beban biaya kesehatan nasional 30–40 persen.
Angka-angka ini seharusnya membuat kita malu karena selama ini memilih jalan yang lebih mahal dan menyisakan penderitaan.

750 x 100 AD PLACEMENT

Apa yang Seharusnya Kita Lakukan?
Jika ingin menjalankan amanat UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 dan menata ulang sistem kebencanaan, beberapa langkah tidak bisa ditawar:
• Anggaran kesehatan harus menggeser porsi promotif–preventif menjadi minimal 40–50 persen.
• Penegakan tata ruang harus konsisten, bukan hanya dokumen administratif.
• Sistem peringatan dini harus menjangkau tingkat dusun.
• Pendidikan kesehatan dan kebencanaan wajib menjadi budaya kolektif, bukan proyek tahunan.
Pencegahan bukan pekerjaan kecil. Ia adalah investasi jangka panjang yang menyelamatkan nyawa.

Duka untuk Sumatera, Ajakan untuk Mengubah Cara Pandang
Bencana di Sumatera meninggalkan duka mendalam. Untuk warga yang kehilangan keluarga dan rumah, saya menyampaikan belasungkawa yang tulus. Semoga Allah SWT memberikan ketabahan.

Namun tragedi ini tak cukup hanya dijawab dengan simpati. Ia harus menjadi cermin. Sudah terlalu lama kita hanya bergerak ketika bencana datang. Ini saatnya mengubah pola pikir. Saatnya mengutamakan pencegahan. Dan tentu saja, saatnya bergandengan tangan membantu saudara-saudara kita di Sumatera melewati masa sulit.

Bangsa yang besar bukan bangsa yang paling cepat mengevakuasi warganya, tetapi yang mampu memastikan warganya tidak menjadi korban sejak awal.

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
Ayo ikut berpartisipasi untuk mewujudkan jurnalistik berkualitas!
Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !