

Semangat seluruh peserta dan Nara Sumber serta penyelenggara Edukasi Demokrasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Tulungagung di Auditorium UBHI PGRI Tulungagung, Selasa(29/10/2025). ( Foto by Pandhu)
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com — Kursi berjajar rapi memenuhi Auditorium Universitas Bhinneka PGRI Tulungagung, Selasa (29/10/2025). Sebuah spanduk besar bertuliskan “Pentingnya Partisipasi Aktif Peran Masyarakat dalam Proses Demokrasi dan Pemilu” menghias panggung, menggambarkan semangat ideal demokrasi.
Namun, semangat itu hanya terdengar lantang di ruangan ber-AC. Di luar forum, ada pertanyaan yang lebih pelan: apakah semua ini benar-benar mengubah kesadaran politik warga?
Kegiatan sosialisasi pendidikan politik yang digelar Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Tulungagung kembali menjadi program rutin tahunan.
“Bakesbangpol ini kepanjangan tangan Bupati untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat,” ujar Sekretaris Bakesbangpol Tulungagung, Siti Baroroh, S.S., seusai acara.

Ia menyebut tujuan utama adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi—mulai pemilu, pilkada, hingga pilkades. Meski begitu, Baroroh mengakui belum ada indikator jelas untuk mengukur keberhasilan edukasi politik tersebut.
“Memang belum ada ukuran pasti apakah masyarakat sudah sadar politik atau belum. Yang bisa kami lakukan adalah terus mengingatkan,” katanya.
Pengakuan itu menyiratkan fakta: demokrasi di level lokal masih belajar berjalan. Sering dibicarakan di podium, tetapi belum sepenuhnya hidup dalam keseharian warga.
Partisipasi Tanpa Kesadaran
Baroroh menilai, tanpa kesadaran politik, kehadiran warga di TPS hanya menjadi rutinitas.
“Kalau belum ada kesadaran, ajakan sebanyak apa pun hasilnya kecil,” ujarnya.
Realitas di lapangan pun tak terbantahkan. Banyak warga yang datang ke TPS sekadar menunaikan kewajiban, bukan karena memahami makna demokrasi yang mereka jalankan.
Masyarakat masih cenderung menjadi objek ajakan partisipasi, bukan subjek yang kritis, mengawasi, dan menuntut transparansi.
Tantangan Generasi Muda dan Politik Uang
Di tengah maraknya disinformasi dan praktik politik uang, Bakesbangpol berharap pendidikan politik dapat menjadi benteng kesadaran publik.
“Kami ingin masyarakat memilih karena kualitas calon, bukan karena uang,” ujarnya.
Namun ia tidak menampik fakta bahwa politik uang masih menjadi tantangan besar.
Baroroh juga menyebut, program tahun ini belum menyentuh generasi milenial secara maksimal. Padahal, ruang digital menjadi medan utama perebutan opini politik.
“Ke depan, kami akan menyasar kaum milenial dan digital. Tahun ini masih tahap awal,” ujarnya.
Partisipasi Masih Terikat Birokrasi
Saat ditanya soal ruang partisipasi langsung masyarakat dalam kebijakan publik, Baroroh menjelaskan pihaknya mengikuti kebijakan kepala daerah.
“Masyarakat bisa memberi aspirasi ke Bupati atau DPRD. Kami membantu menyalurkan,” ungkapnya.
Pernyataan itu menunjukkan partisipasi publik masih berjalan top-down, bukan tumbuh dari bawah. Warga diajak bicara, tapi belum sepenuhnya diberi ruang mendengar dan menentukan arah kebijakan.
Setelah Spanduk Turun, Kesadaran Tetap Sunyi
Baroroh menegaskan, demokrasi membutuhkan proses panjang dan keterlibatan berkelanjutan.
“Jangan hanya memilih lalu lepas. Kita harus mengawasi pembangunan,” katanya menutup.
Pesan itu benar. Namun begitu acara usai dan spanduk diturunkan, realitas kembali berjalan: politik tetap milik elite, sementara masyarakat kembali pada rutinitas.
Edukasi politik yang hanya berhenti pada seminar tidak cukup. Demokrasi menuntut ruang dialog, teladan moral pemimpin, dan pembiasaan berpikir kritis.
Selama kegiatan ini hanya menjadi formalitas tahunan, kesadaran politik masyarakat akan tetap menjadi slogan—nyaring di panggung, tetapi sunyi di lapangan.
Jurnalis: Pandhu
Editor: Arief Gringsing
Jangan Tampilkan Lagi
Ya, Saya Mau !