
Abah Imam Mawardi Ridlwan (foto by IMR/AG)
TULUNGAGUNG, HARIAN- NEWS.com — Sabtu pagi itu, lantai dua ruang Esis SMA Al Azhaar Kedungwaru terasa berbeda. Bukan karena pendingin ruangan yang bekerja lebih keras. Tapi karena ada yang lebih dingin dari udara: teknologi. Dan ada yang lebih hangat dari kopi pagi: semangat para guru.
Hari itu, 50 guru berkumpul. Bukan untuk rapat kurikulum. Bukan pula untuk membahas absensi. Mereka datang untuk belajar AI generatif video.
Pesantren Al Azhaar Kedungwaru Tulungagung menggandeng FMIPA Universitas Brawijaya Malang. Sebuah kolaborasi yang tak biasa. Pesantren dan kampus. Spiritual dan sains. Dakwah dan algoritma.
KH. Imam Mawardi Ridlwan, pengasuh pesantren, membuka acara dengan kalimat, “Guru tidak boleh hanya menjadi penonton teknologi,” tuturnya. “Guru harus bersahabat dengan teknologi. Tapi jangan tunduk. Jadikan ia mitra kreatif.”
Di era di mana anak-anak lebih fasih bicara dengan chatbot daripada dengan wali kelasnya, guru memang harus berubah. Bukan berubah menjadi robot. Tapi menjadi sosok pendidik yang lebih kreatif.
Abah Imam menyebut AI generatif video sebagai “teknologi yang berkembang pesat.” Ia dapat diajak menciptakan konten visual dari teks, suara, bahkan imajinasi. Tapi ia tidak boleh menggantikan para pendidik. “AI bukan menggantikan guru, tapi memperluas jangkauan kreatif guru,” tambahnya.
Ada empat hal yang ditekankan Abah Imam:
– Kreativitas. Dulu, membuat video dakwah butuh kamera mahal dan tim produksi. Sekarang cukup naskah dan niat.
– Efisiensi. Materi pembelajaran yang biasanya dibuat semalaman, kini bisa selesai dalam hitungan menit.
– Personalisasi. Untuk anak-anak, buat animasi ceria. Untuk remaja, sinematik emosional. Untuk tim internal, dokumenter reflektif.
– Evaluasi. Tak perlu lagi kertas ujian. AI bisa bantu guru mengevaluasi pembelajaran.
“Saya tidak paham dan tidak tahu,” kata Abah Imam jujur. “Maka di workshop hari ini, silakan ditanyakan dan dipraktekkan bersama tim FMIPA UNIBRAW.”
Kalimat itu jujur. Dan justru karena jujur, ia menjadi ajakan bersama. Seorang yang ada di pesantren, mengakui ketidaktahuannya. Tapi tidak berhenti di situ. Ia membuka ajakan untuk belajar dan mengembangkan diri. Ia memberi ruang bagi guru untuk tumbuh.
Tim FMIPA UNIBRAW yang dipimpin Dr. Sugeng Rianto datang untuk membersmai. Mereka bertiga akhirnya menjadi sahabat para guru. Mendampingi. Membimbing. Melatih. Dengan telaten.
Para guru pun tampak antusias. Mereka bukan lagi penonton teknologi. Mereka mulai menjadi sutradara. Menulis naskah. Menyusun visual. Merekayasa suara. Semua untuk satu tujuan: mendidik dengan lebih baik.
Di akhir pengarahan, Abah Imam menutup dengan kalimat, “AI generatif video bukan sekadar alat produksi. Ia adalah sahabat guru. Mitra pendidikan. Ketika digunakan dengan niat yang lurus dan visi yang jelas, ia bisa menjadi alat yang efektif.”
Dan hari itu, di lantai dua ruang Esis, teknologi tidak lagi dingin. Ia menjadi hangat. Karena disentuh oleh niat baik. Oleh guru-guru yang ingin terus belajar. Oleh pesantren yang tak takut berubah.