160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Saat Uang Seribu Menjadi Satu Rupiah: Menyambut Redenominasi Tanpa Rasa Cemas

Oleh: Yakub F. Ismail
Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia

Bayangkan suatu pagi Anda membuka dompet dan mendapati uang Rp1.000 berubah menjadi Rp1. Uang Rp10.000 menjadi Rp10, dan gaji bulanan Rp5.000.000 tertulis hanya Rp5.000. Bukan karena daya beli berkurang, melainkan karena angka nol di belakang dipangkas.

Inilah gambaran paling sederhana dari redenominasi—penyederhanaan rupiah—yang sewaktu-waktu bisa benar-benar diterapkan. Sebuah langkah yang bagi sebagian orang terasa janggal, bahkan memunculkan rasa seolah-olah hidup ikut “menyusut”.

Namun sesungguhnya, bukan nilainya yang berkurang. Yang berubah hanyalah tampilan nominalnya.

750 x 100 AD PLACEMENT

Mengapa Redenominasi Penting?

Gagasan redenominasi bukan barang baru dalam diskusi ekonomi nasional. Pemerintah dan Bank Indonesia telah mengkaji langkah ini bertahun-tahun sebagai bagian dari modernisasi sistem keuangan.

Indonesia termasuk negara dengan digit mata uang yang panjang. Sesuatu yang terlihat sepele, namun secara praktis menimbulkan persoalan pencatatan, transaksi digital, hingga akuntansi bisnis internasional.

Satu cangkir kopi bisa dihargai Rp25.000, angka yang tampak “besar” meski nilainya tidak seberapa. Banyaknya nol bukan hanya membingungkan, tetapi menghambat efisiensi pencatatan.

750 x 100 AD PLACEMENT

Di sinilah redenominasi hadir sebagai solusi. Nominal disederhanakan, sementara nilai riil tetap sama.
Contohnya:

Rp1.000 → Rp1

Rp10.000 → Rp10

Rp1.000.000 → Rp1.000

750 x 100 AD PLACEMENT

Harga barang, gaji, tabungan, dan seluruh transaksi ikut menyesuaikan. Tidak ada yang berubah dari daya beli masyarakat.

Dari sisi ekonomi, redenominasi menawarkan tiga keuntungan:

1. Transaksi lebih mudah, baik digital maupun konvensional.

2. Meningkatkan citra rupiah dalam perdagangan global.

3. Menghemat biaya logistik seperti pencetakan uang, sistem kasir, hingga akuntansi.

Langkah ini juga selaras dengan visi Indonesia Maju 2045, di mana rupiah harus kompatibel dengan sistem keuangan global.

Psychological Shock: Tantangan yang Tak Bisa Diabaikan

Meski secara ekonomi redenominasi tidak mengubah daya beli, dari sisi psikologis dampaknya bisa sangat besar.

Bayangkan harga makanan di warung dari Rp15.000 menjadi Rp15. Ongkos ojek dari Rp10.000 menjadi Rp10. Bahkan uang receh seperti Rp500 menjadi Rp0,5.

Bagi sebagian masyarakat, angka yang lebih kecil bisa terasa mengurangi “harga diri” rupiah. Bagi yang lain, justru membuat rupiah tampil lebih setara dengan euro, dolar, atau yen.

Inilah titik sensitif redenominasi: persepsi publik.

Nilai uang bukan hanya ekonomi—ia adalah simbol identitas, kedaulatan, dan rasa aman masyarakat. Maka ketika Rp1.000 berubah menjadi Rp1, publik perlu diyakinkan bahwa yang berubah hanya digitnya.

Karena itu, keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada:

edukasi publik,

simulasi transaksi,

komunikasi yang terus-menerus dari pemerintah, media, dan pelaku ekonomi.

Semakin matang masyarakat memahami konteks dan dampaknya, semakin mulus transisi yang terjadi.

Penutup: Menuju Rupiah yang Lebih Sederhana, Bukan Lebih Lemah

Jika redenominasi benar-benar diterapkan, kita akan memasuki fase baru interaksi dengan rupiah—lebih ringkas, lebih efisien, dan lebih modern.

Namun wacana ini membutuhkan waktu, kesabaran, dan kesiapan mental kolektif. Bukan hanya regulasi yang diuji, tetapi kemampuan masyarakat menyesuaikan diri dalam sistem nilai yang baru.

Pada akhirnya, penyederhanaan nominal bukan sekadar soal angka nol.
Ia adalah langkah menuju sistem keuangan yang lebih kompetitif dan masa depan ekonomi Indonesia yang lebih kuat.

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
Ayo ikut berpartisipasi untuk mewujudkan jurnalistik berkualitas!
Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !