

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan
Sekretaris PW IPHI Jawa Timur
SURABAYA, HARIAN- NEWS .com – Di tengah semaraknya semangat umat Islam untuk menunaikan ibadah umroh, muncul satu pertanyaan yang semakin relevan: apakah sebaiknya umroh dilakukan bersama rombongan melalui travel resmi, ataukah secara mandiri, ataukah rombongan tapi mandiri?
Pertanyaan ini menjadi semakin penting setelah Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi memastikan bahwa pelaksanaan umroh mandiri kini legal dan dilindungi oleh negara. Bahkan, Peraturan Menteri (Permen) tengah disiapkan sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Namun, seperti halnya setiap kebijakan, respons masyarakat pun beragam. Ada yang menyambut positif, ada pula yang khawatir. Terutama dari kalangan penyelenggara travel resmi yang telah lama berkhidmat melayani jamaah. Mereka merasa bahwa legalisasi umroh mandiri bisa menggerus kepercayaan terhadap travel yang berizin.
Umroh Mandiri: Murah, Praktis, Tapi Tidak Sederhana
Di lapangan, saya menyaksikan langsung fenomena ini. Saat Ramadhan tahun ini, di Bandara Changi Singapura, saya bertemu seorang ibu dari Surabaya. Ketika saya tanya, “Ibu dari kegiatan apa?” Ia menjawab mantap, “Umroh mandiri. Seorang diri.”
Di ruang tunggu yang sama, saya berbincang dengan seorang pemuda dari Kepung, Kediri. Ia dan tiga temannya memilih umroh mandiri. Biaya hanya sekitar 18 juta rupiah, tanpa catering. Mereka membawa magicom sendiri, memesan hotel promo secara online, dan berpindah-pindah demi efisiensi.
Di waktu yang sama, saya duduk berhadapan dengan seorang ibu dari Lumajang. Ia bersama empat orang lainnya juga menjalani umroh mandiri. Tiket PP Rp11,5 juta, visa Rp1,6 juta, hotel di Misfalah Rp40 juta untuk dua kamar selama 10 hari. Transportasi? Mereka memilih kereta cepat antar kota suci. Praktis dan hemat waktu.
Fenomena ini menunjukkan bahwa umroh mandiri memang bisa dilakukan. Tapi apakah semua orang siap?
Umroh Bukan Sekadar Perjalanan, Tapi Ibadah Fisik dan Rohani
Umroh bukan sekadar wisata religi. Ia adalah ibadah yang menuntut kesiapan fisik dan ruhani. Tanpa pembimbing, tanpa pemahaman mendalam, ibadah bisa kehilangan makna. Bisa jadi thawaf dilakukan asal-asalan, sa’i tanpa tadabbur, dan doa-doa hanya dibaca tanpa penghayatan.
Karena itu, masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa umroh adalah ibadah fisik. Ia membutuhkan pembimbing agar makbul. Butuh ilmu, bimbingan, dan kesiapan mental.
Menjaga Fisik dan Jiwa Sebelum Berangkat
Agar fisik tetap bugar, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sejak di tanah air:
1. Menjaga makanan dan minuman, serta membiasakan diri jalan kaki dan olahraga ringan.
2. Melatih jiwa yang tumakninah—tenang, sumeleh, dan tawakal.
3. Saling ta’awun, saling memberi dan meringankan beban sesama jamaah.
4. Semangat beribadah, meski kondisi tubuh kadang tidak ideal. Tetap semangat, dan imbangi dengan suplemen.
Umroh Mandiri: Untuk yang Sudah Siap
Bagi yang berminat umroh mandiri, saya sarankan: jangan dulu. Kecuali sudah benar-benar siap. Siap secara fisik, mental, dan pengalaman. Paling tidak, memahami aturan bepergian jauh, menguasai Bahasa Arab atau Inggris, dan tahu regulasi pemerintah Saudi. Umroh mandiri bukan untuk yang ingin dilayani, tapi untuk yang siap melayani diri sendiri.
Kembali ke Pilihan Masing-Masing
DPR dan pemerintah telah bersepakat bahwa umroh mandiri legal dan dilindungi. Tapi pilihan tetap di tangan masing-masing. Saran saya: pilihlah umroh yang aman, amanah, terjamin, terbimbing, terjaga, dan ada yang bertanggung jawab. Karena ibadah umroh membutuhkan ilmu dan bimbingan.
Semoga setiap langkah menuju Baitullah menjadi jalan menuju ridha Allah. Dan semoga kita semua diberi kesempatan untuk kembali, dalam kondisi terbaik, dengan niat yang lurus, dan hati yang bersih.
Jangan Tampilkan Lagi
Ya, Saya Mau !