160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT
banner hut ri

Solusi Tata Kelola Hutan di Tulungagung “Buah” Pertemuan Multipihak Saat Bahas RPH Sanggrahan

Pertemuan Multi Pihak yang digagas oleh Sekolah Politik Anggaran Tulungagung

TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com – Solusi tata kelola Hutan di Kabupaten Tulungagung diperoleh saat pertemuan Multipihak bahas RPH Sanggrahan yang digagas Sepola Tulungagug.

Pemaparan hasil temuan dan Diseminasi Hasil Monitoring Sekolah Politik Anggaran Tulungagung (Sepola) di RPH Sanggrahan berupa hutan gundul, banjir, hingga hilangnya potensi pendapatan negara bukan pajak  jadi titik kulminasi rumitnya tata kelola hutan.

Peserta

Hal itu terungkap saat Sepola menggelar Pertemuan Multipihak Diseminasi Hasil Monitoring tata kelola Hutan di Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Sanggrahan, Kamis (27/1/22) di Hostel Pama, Kepatihan, Tulungagung, Jawa Timur. Mengambil tema Peran Masyarakat Dalam Mengawal Tata Kelola Hutan di RPH Sanggrahan, BKPH Campurdarat, KPH Blitar.

Alasan pemilihan RPH Sanggrahan menurut ketua panitia Widi Hariyanto yang akrab disapa Mbah hari dikarenakan RPH Sanggrahan letaknya strategis karena melibatkan 8 desa yang tersebar dibeberapa kecamatan dan berada didekat lingkungan padat masyarakat juga dekat dengan kota Tulungagung.

750 x 100 AD PLACEMENT

Mewakili lembaga inisiatif dan donor, Nandang dari Bandung mengungkapkan tujuan mendidik dan melahirkan aktivis yang peka terhadap fenomena dan realita sosial serta menyuarakan suara masyarakat yang belum mendapatkan hak-haknya dalam tatanan bermasyarakat dan bernegara.

“Melahirkan aktivis yang berani tampil, investigasi dan monitoring atas kegiatan lembaga atau badan usaha milik negara maupun pemerintah daerah untuk mengamankan potensi pendapatan negara bukan pajak,” kata Nandang.

Disampaikan oleh Budi dari Sepola, ada potensi kerugian negara dari PNBP atas pengelolaan hutan di RPH Sanggrahan yang nilainya mencapai miliaran rupiah.

Usai paparan dan komentar dari dinas lingkungan hidup dan dinas pertanian. Dilanjutkan pengalaman mengelola hutan dari LMDH Wono Yoso, Desa Tanggung, Kecamatan Campurdarat dan dari Pemerintah Desa Wajak Kidul Kecamatan Sumbergempol.

750 x 100 AD PLACEMENT

Permasalahan justru timbul dari Desa Wajak Kidul yang digambarkan dalam hasil investigasi dan monitoring Perkawis (Pelestari Kawasan Wilis) bersama Sepola, mengalami banjir bandang dan adanya pendangkalan selokan dan parit.

“Luas hutan ada 220 ha, yang masuk di Wajak Kidul seluas 78 ha, lahan produktif 10 ha, 2 ha lahan wisata Geo Green Park, lainnya berupa bebatuan,” kata Bu Kades Wajak Kidul.

Menurut Kades Wajak Kidul, diakunyai memang Wajak Kidul terdampak banjir bandang saat musim hujan ini. Namun demikian masih ada juga permaslahan lain yang ditimbulkan akibat selokan dan parit yang mengalami pendangkalan akibat limbah pengrajin batu untuk alat dapur (cobek dan ulek-ulek).

Adalah Agus Ketua LMDH Tanggung Wono Yoso yang dengan tegas mengungkapkan saat ini sudah tidak ada lagi banjir bandang dan air keruh dari Gunung Budheg dan rusaknya tanggul di Desa Tanggung sekitar gunung.

750 x 100 AD PLACEMENT

“Bisa dibuktikan air yang mengalir jernih walau hujan seperti saat ini melanda Gunung Budheg,” kata Agus.

Dia bahkan menyampaikan kesediaan kelompoknya untuk menjadi pendamping untuk melestarikan hutan di kawasan Gunung Budheg yang kini masih mengalami dampak gundulnya hutan dan banjir bandang disaat musim hujan.

“ Untuk melestarikan hutan memang harus ditegakan hukum rimba, siapa yang kuat itu yang menang. Jangan salah sangka, kuat yang kami maksud adalah kuat menahan diri agar tidak ambil keuntungan sesaat, kuat untuk istiqomah merawat hutan dan kuat  untuk menjaga hutan dengan mengedepankan komunikasi dan hubungan sosial,” ujar Agus, yang langsung disambut aplous dari peserta pertemuan siang itu.

Makin jelas dari pengalaman PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Mangkubumi yang disampaikan salah seorang pengurusnya bernama Munif, mencari solusi tata kelola hutan di Kabupaten Tulungagung.

Munif menyampaikan, di Tulungagung ini sudah ada pola kerjasama antara Perhutani dengan LMDH maupun dengan lembaga berupa IP HPS yakni di Besole dan Pucanglaban. Dengan IPHPS masa waktu kerjsamanya hingga 35 tahun.

“Pada akhir tahun 2018, Kelompok Tani (KT) Argo Makmur Lestari Desa Besole berhasil mendapatkan SK IPHPS seluas 845 hektar dengan 714 petani,” kata Munif.

Saat ini PBB sudah dibayarkan juga oleh KT Agro Lestari, namun untuk PSDH yang kayu dan non kayu belum karena masih proses pengelolaan.

Dengan skema tersebut pola pengelolaan hutannya 50% berupa kayu, 30% MPTS dan 20% tanaman semusim, dengan evaluasi 5 tahunan.

Dia menambahkan dengan skema Kulin KK atau Perhutanan Sosial selain itu juga bisa dengan skema PKS.

“Perhutanan sosial bisa jadi alternatif model pengelolaan hutan di Kabupaten Tulungagung,”ujarnya.

Mulyono, Mantri Tumpak Gempol,

Pendapat dari perwakilan KPH Blitar

Hadir besama Mandor Supriyanto, Mulyono Mantri Tumpak Gempol dengan lugas menyambut baik pertemuan yang digagas Sepola ini.

Menjawab berbagai permasalahan yang ditampilkan oleh Sepola dari hasil investigasi dan monitoring serta beberapa pertanyaan yang muncul di pertemuan itu.

Mulyono justru mengajak para pihak untuk jangan saling menyalahkan atas pengelolaan hutan, dia justru mengajak untuk kerjasama karena pengelolaan hutan dibutuhkan sinergi para pihak.

“ Ayo kerjasama jangan saling menyalahkan, kami terbuka dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk melakukan kerjasama pengelolaan hutan. Silahkan ajukan pada kami ke KPH Blitar,” kata Mulyono.

Menjawab adanya temuan pembakaran kayu, dijelaskan oleh Mulyono, terkadang memang ada warga yang membakar, walaupun sudah ada tanda larangan.

 Lebih lanjut dijelaskannya juga sebenarnya untuk pohon jati yang sudah lima besar dibawahnya dibakar justru kayunya akan makin bagus berdasarkan pengalaman.

 

Dan terkait gundulnya hutan yang ada di RPH sanggrahan yang luasnya mencapai 942 ha, Mantri ini menyampaikan secara teknis, kami mengacu dengan pola kerja RTT rencana tanam tahunan, namun masyarakat masih ada yang lebih memilih jagung jadi tanaman tumpuan, karena kondisi lahan didominasi tanah berbatu dan dengan kemiringan tinggi, kami juga mengatur jarak tanamnya tidak seperti di lahan datar.

Mulyono juga menegaskan, selama ini kami juga membayar PBB dari korporasi karena Perhutani harus mandiri tidak ada anggaran pemerintah untuk operasional.

Terakhir, Mulyono menegaskan Perhutani terbuka untuk bekerjasama dengan para pihak, dengan masyarakat, LMDH, lembaga, koperasi dan mengenai shringnya tetap akan diberikan.

“Untuk sharing tetap ada atas pengelolaan hutan selama ini, Perhutani tidak akan menipu. Contohnya yang sudah berjalan seperti dengan LMDH Wono Yoso Tanggung,” katanya.

Ditambahkan oleh Mandor Supriyanto, dari pengalamannya kerja di Perhutani kawasan Gunung Budheg yang penuh peristiwa ghaib.

“Selain masih adanya hewan-hewan buas seperti macam, ular yang terkadang muncul, juga meninggalnya secara misteri para perusak hutan dan pembalak kayu hutan dikawasan ini,” kata Mulyono serius.

Penulis : Edy

Editor   : Mas Edit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
Ayo ikut berpartisipasi untuk mewujudkan jurnalistik berkualitas!
Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !