TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com – Implementasi program pendidikan “Merdeka Belajar” dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tidak serta merta bisa dilaksanakan dengan mudah.
Namun Kepala Bidang Pembinaan SMP Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaraga Kabupaten Tulungagung Suprayitno menjelaskan, konsep pendidikan Merdeka Belajar di Tulungagung pada dasarnya sudah berjalan dengan baik.
Dijelaskannya juga, namun ketika sekolah diberi kebebasan malah takut keliru sehingga masih berpegang pada kurikulum lama. Jadi masih belum 100 persen pelaksanaan merdeka belajar diterapkan.
Suprayitno menjelaskan Merdeka Belajar berawal dari terkungkungnya sistem pendidikan kita dalam model pembelajaran yang memberangus kemerdekaan para siswa, guru dan sekolah untuk mencapai potensi maksimal dan terbaiknya.
Masih kata Suprayitno, asumsi di atas tidak salah. Lihatlah apa yang terjadi dengan proses belajar mengajar di sekolah-sekolah kita yang sedianya dirancang untuk membuat siswa dan guru bisa berkolaborasi dalam saling asah, asih dan asuh dan untuk mentransfer nilai dan skill, malah membuat para guru kita terjebak dalam kegiatan administratif yang melelahkan.
Demikian juga, para siswa kita, mereka harus memikul tasnya yang berat yang berisi buku-buku teks dan buku pekerjaan rumahnya. Lebih parahnya lagi rasanya dari Senin sampai Jumat (bahkan Sabtu), tidak ada hentinya para guru memberikan pekerjaan rumah bagi para siswa.
“Akibat dari fenomena masyarakat semacam ini, siswa dan orang tua stress dan pekerjaan rumah akhirnya dikerjakan bukan untuk menolong siswa memahami pelajarannya tetapi lebih karena takut tidak naik kelas atau dimarahi guru jika tidak dikerjakan,” katanya.
Ditegaskan Suprayitno, lebih celaka lagi, para orang tua lalu menyewa guru private untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah tersebut bagi anak-anaknya. semua proses ini menunjukan bahwa kita sedang berada dalam situasi ‘tidak merdeka belajar’ atau dijajah oleh sistem yang tidak kreatif.
Akibat lebih parahnya ialah proses pendidikan yang sedianya diyakani dari-nya manusia (siswa) dan (guru) bisa membebaskan diri untuk merealisasikan potensi maksimal dirinya malah mendegradasi kemampuan pembebasan diri tersebut.
” Saya berharap kepada sekolah, utamanya SMP untuk lebih berani melaksanakan konsep merdeka belajar sesuai dengan arahan Mas Nadiem Menteri Pendidikan,” kata Suprayitno.
Gambarannya seperti, Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.
Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8, 11), sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya.
Sedangkan untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan menyederhanakannya dengan memangkas beberapa komponen. Dalam kebijakan baru tersebut, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen.
Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Satu halaman saja cukup. (ag/red)