160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT
banner hut ri

Sistem Pemilu Serentak Tahun 2024, Terbuka atau Tertutup?

Sistem Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024

Publik dan politikus masih berharap-harap cemas dengan Pemilu Serentak Tahun 2024, karena hingga saat ini masih belum jelas sistem yang akan digunakan, apakah sistem tertutup atau terbuka.

Mengikuti persidangan di Mahkamah Konstitusi yang telah menghadirkan para pihak tampaknya akan menyulitkan bagi hakim MK untuk membuat putusan yang mampu mengakomodasi semua kepentingan dan sesuai kehendak konstitusi.

Mahkamah Konstitusi tengah bersidang untuk memutuskan permohonan uji materi atau judicial review Pasal 168 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin jalannya sidang sidang pleno perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU Pemilu soal sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka di Gedung MK, Jakarta.

750 x 100 AD PLACEMENT

Rencananya MK akan bersidang kembali pada 23 Mei 2023 untuk menentukan sistem pemilu yang akan dipakai KPU dalam menyelenggarakan Pemilu serentak tahun 2024.

Undang-Undang Pemilu mengatur sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak yang diduga bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945.

Untuk Pemilu 2024, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk mengubah sistem pemilu tersebut menjadi sistem pemilu proporsional tertutup dengan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut.

 

750 x 100 AD PLACEMENT

Hakim MK tengah diuji publik apakah akan konsisten dengan putusan lamanya atau tidak. Putusan lama, yaitu Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008, menyatakan sistem pemilu yang konstitusional adalah sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Jika dicermati secara mendalam dari perspektif konstitusi, sesungguhnya tak ada satu norma pun (pasal, ayat, atau bagian dari ayat) di UUD 1945 yang mengatur mengenai sistem pemilu.

Artinya, sistem pemilu bukan merupakan konten yang bersifat konstitusional. Itulah sebabnya, putusan MK nanti akan sangat mungkin beragam bentuknya bergantung pada daya kritis dan kreativitas hakim MK yang dipengaruhi oleh realitas persidangan dan dinamika politik mutakhir.

 

750 x 100 AD PLACEMENT

Menyimak persidangan di MK yang telah menghadirkan para pihak, yaitu pemohon, termohon, dan pihak terkait ditambah dengan kehadiran para ahli hukum tata negara, ahli ilmu politik, dan ahli kepemiluan, baik pihak yang pro maupun yang kontra, mereka menyampaikan argumentasi yang sama-sama kuat dan logis di hadapan hakim MK (Kompas, 8/3/2023).

Maka, tampaknya akan menyulitkan bagi hakim MK untuk membuat putusan yang mampu mengakomodasi semua kepentingan dan sesuai kehendak konstitusi.

Dalam hal ini, PDI-P mendukung sistem proporsional tertutup. Adapun delapan partai politik, melalui ketua umum partai politik masing-masing, menolak sistem pemilu tertutup dan tetap mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka seperti pemilu tahun sebelumnya.

Sikap delapan parpol ini merupakan bentuk perlawanan terbuka ditujukan kepada lawan politik yang sedang beroperasi mengubah sistem Pemilu 2024.

Perkara pengujian UU Pemilu ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Para pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Mengutip situs MK, pemohon menilai bahwa pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan.

Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Para pemohon merasa dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.

Sistem proporsional terbuka dinilai pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal tersebut dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Para pemohon dalam petitumnya meminta agar MK menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Politik tidak pernah lepas dari kekuasaan, semua aspek yang akan mempengaruhi kemenangan dari golongan yang berkuasa pastinya akan digunakan untuk memuluskan jalan meraih kemenangan dalam “demokrasi” yang mana rakyat hanya dimanfaatkan sebagai obyek semata.

Baik itu menggunakan pola yuridis dengan mengandalkan kewenangan jabatan para pejabat yang dibawah kendali kekuasaan maupun menggunakan kekuatan hukum dengan diterbitkannya putusan hukum yang mengikuti “nafsu” kekuasaan.

Menurut prediksi Anda,  sistem pemilu seretak Tahun 2024 nanti menggunakan sitem terbuka atau tertutup?

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
Ayo ikut berpartisipasi untuk mewujudkan jurnalistik berkualitas!
Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !