
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com — Pagi itu, suasana SMP Negeri 1 Tulungagung terlihat seperti biasa: siswa berseragam rapi, antre di depan ruang kelas, dan guru-guru menyiapkan materi pelajaran. Namun ada satu hal yang membuat sekolah ini tak lagi “biasa”. Di balik dinding kelas dan papan tulis putih, para siswa kini menjelajah ruang belajar yang jauh lebih luas—ruang digital.
Langkah besar ini tak muncul begitu saja. Sekolah yang dikenal prestisius di Kabupaten Tulungagung ini tengah melakukan lompatan transformasi pendidikan, dari konvensional menuju era digital yang inklusif dan etis.
Informatika: Gerbang Awal Menuju Dunia Baru
“Pelajaran Informatika jadi pintu masuk utama. Kami ingin siswa tak hanya tahu teknologi, tapi paham dan bijak menggunakannya,” ungkap Risdiyanto, S.Pd., staf kurikulum yang siang itu menemani wawancara.
Menurutnya, sejak semester ini, pemanfaatan teknologi menjadi lebih intensif. Para guru mulai mendorong tugas dalam bentuk unggahan Instagram, podcast, hingga proyek multimedia. “Kami sesuaikan dengan mata pelajarannya. Ada yang cocok dikembangkan ke konten visual, ada yang audio,” katanya.
Ketika Tantangan Bukan Lagi Ujian, Tapi Adaptasi
Namun seperti layaknya setiap perubahan besar, transformasi ini juga membawa tantangan. “Guru muda cepat adaptasi, tapi guru senior butuh pembiasaan,” ujar Risdiyanto jujur. Meski begitu, semangat belajar tetap tumbuh di kalangan pendidik, karena mereka tahu—ini bukan sekadar soal teknologi, tapi masa depan generasi.
Dan bicara soal generasi, para siswa justru lebih dulu melangkah. “Mereka sudah hidup di dunia digital. Kita tinggal arahkan,” tambahnya.
HP Bukan Musuh, Tapi Harus Dikenal dan Diatur
SMPN 1 Tulungagung pun tidak serta-merta memberi kebebasan penuh. Ada aturan ketat yang diterapkan: setiap pagi, HP siswa dikumpulkan, dikunci di loker, dan hanya digunakan saat pembelajaran yang memang memerlukannya. “Disiplin ini penting agar teknologi tak jadi distraksi,” jelasnya.
AI: Ancaman atau Asisten Belajar?
Di tengah ledakan penggunaan AI seperti ChatGPT, sekolah memilih jalur moderat. “Kami tidak anti, tapi kami dorong siswa untuk tetap berpikir kritis. Guru juga bisa mengenali gaya tulisan AI,” ujar Risdiyanto.
Kepala SMP Negeri 1 Tulungagung Heni Hendarto melalui Waka Kurikulum, Peny Christiana, S.Pd., M.Pd., menngungkapkan, bahwa sejak pandemi COVID-19, sekolah telah akrab dengan pembelajaran digital. “Google Classroom, Quizizz, sudah jadi bagian hidup belajar-mengajar kami. Dan sekarang kami sedang melatih guru agar AI bisa dimanfaatkan secara mendidik,” katanya.
Suara Siswa: Belajar Jadi Lebih Hidup
Salah satu siswi, Risdiana Edlyn, merasakan langsung perubahan ini. “Belajar jadi lebih seru. Banyak konten video atau audio di media sosial yang bantu pemahaman. Tapi tetap, kita harus selektif,” ungkapnya.
Ia bahkan mengusulkan agar sekolah menambah fasilitas seperti TV digital di kelas-kelas. “Supaya semua siswa bisa menikmati pembelajaran visual secara bersama-sama.”
Menariknya, Risdiana juga menggunakan AI seperti ChatGPT untuk mencari informasi. “Tapi saya baca dulu, bandingkan. Nggak asal comot,” ujarnya. Ia pun mengingatkan teman-temannya untuk tak bergantung penuh pada AI. “Kalau semua dikerjakan mesin, kita kehilangan kreativitas.”
Menyiapkan Generasi Tangguh di Era Teknologi
Langkah SMPN 1 Tulungagung bukan sekadar ikut tren. Ini adalah langkah strategis membentuk siswa yang tak hanya ‘melek teknologi’, tapi juga mampu berpikir kritis, menjunjung etika, dan bertanggung jawab di dunia digital.
Transformasi digital sekolah ini adalah investasi jangka panjang. Bukan hanya untuk siswa, tapi juga untuk masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerdas, terbuka, dan manusiawi.
“Kami tidak hanya ingin siswa pintar teknologi, tapi juga punya karakter. Karena literasi digital sejati bukan soal gadget, tapi soal nilai di baliknya.” — Peny Christiana, Waka Kurikulum SMPN 1 Tulungagung
Jurnalis Pandhu
Editor Tanu Metir