

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan*
SURABAYA, HARIAN- NEWS.com –
Pada Hari Pahlawan, 10 November 2025, sejarah Indonesia kembali bergemuruh. Presiden Prabowo Subianto menetapkan Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto yang selanjutnya saya sebut Pak Harto sebagai salah satu dari sepuluh tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional.
Keputusan ini keberanian negara membuat keputusan di saat para aktivis yang protes. Ia adalah palu yang mengetuk memori kolektif bangsa. Dan bagi saya, mengetuk dada masa kecil yang pernah digendong ayahku sambil mendengar kisah heroik penyelamatan Pancasila pada tahun 1965.
Ayahku merupakan pimpinan Anshor NU yang turut membasmi para komunis saat itu. Saat ini usianya sudah di atas 80 tahun.
Saya teringat dawuh Gus Dur, “Orang yang paling ikhlas di Indonesia itu Prabowo.” Dan barangkali, hanya orang yang pernah dibuang dari lingkaran Pak Harto, dipecat dari TNI oleh tangan Pak Wir dan para jenderal lainnya, yang mampu menyetujui pengusulan gelar pahlawan bagi sang mertua yang pernah menyingkirkannya.
Keikhlasan itu bukan basa-basi. Ia adalah kebeningan yang menutup pro dan kontra dengan satu keputusan berani. Pak Harto pahlawan.
Seperti ayah yang merupakan pejuang NU turut menyaksikan langsung bagaimana TNI dan Anshor menyelamatkan Pancasila dari ancaman kudeta komunis. Dalam narasi ayah, Pak Harto adalah penyelamat ideologi bangsa, Pancasila. Maka, ketika gelar pahlawan disematkan, saya tidak hanya melihat politik. Saya melihat kenangan. Saya melihat kisah dari gendongannya. Saya melihat ayah selalu berkisah kekejaman komunis.
Di balik kontroversi, jejak pembangunan Pak Harto tak bisa dihapus. Ia membangun puskesmas di pelosok, mendirikan SD Inpres untuk pendidikan dasar di seluruh negeri, dan memperluas irigasi demi ketahanan pangan Indonesia.
Tiga pilar ini, kesehatan, pendidikan, dan pangan yang menjadi fondasi pembangunan Orde Baru yang masih dikenang hingga kini. Banyak desa yang dulu terisolasi kini mengenal jalan, sekolah, dan layanan kesehatan. Inilah alasan kedua saya mendukung gelar pahlawan Pak Harto.
Namun, sejarah Pak Harto bukan tanpa noda. Ia memimpin dengan gaya otoriter, membungkam oposisi, dan memusatkan kekuasaan. Para guru saya, aktivis partai berlambang Ka’bah, merasakan tekanan politik yang nyata. Desa-desa yang memenangkan partai itu tidak diberi listrik, jalan dibiarkan rusak, dan pembangunan ditahan. NU, organisasi yang saya anut, dipinggirkan. Tidak pernah diberi akses. Memang rasanya saya harus berkata, “mengapa orang yang anti NU diberi gelar pahlawan?” Namun itu tetap kalah dengan keikhlasan Pak Prabowo.
Para guru saya di Ormas NU yang aktif di partai itu tak pernah diberi akses. Mereka adalah korban sistemik Orba. Dan banyak yang berakhir di penjara. Kejahatan Pak Harto sangat tampak saat itu. Terasa bengis dan sadis walau dengan gayanya selalu senyum. Senyum Pak Harto itu senyum yang membinasakan lawan politik. Itulah Orba.
Saya tak bisa melupakan peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, dan berbagai tragedi lainnya. Orang hilang, diculik, disiksa. Luka itu masih ada. Maka, dalam hati saya, gelar pahlawan ini tetap menyisakan keberatan. Sejarah tidak bisa disapu bersih dengan satu keputusan. Tapi pada 10 Nopember 2025, saya harus menerima walau dengan berat hati.
Namun, justru karena luka itu, keputusan Prabowo menjadi lebih bermakna. Ia bukan hanya mengusulkan gelar pahlawan. Ia mengajarkan bangsa tentang keikhlasan, tentang menerima masa lalu, dan tentang membangun masa depan dengan hikmah. Ia menutup perdebatan dengan keberanian yang lahir dari luka pribadi. Kita sedang belajar dengan ketulusan Pak Prabowo.
Pak Harto adalah sosok yang kompleks. Ia membangun, tapi juga membungkam. Ia menyelamatkan ideologi, tapi juga menciptakan luka. Gelar pahlawan yang kini disematkan padanya bukan penghapusan sejarah, tapi pengakuan bahwa sejarah kita tidak pernah hitam-putih.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menatap masa lalu dengan jujur. Kita tidak menutupi luka, tapi kita juga tidak menolak jasa. Kita tidak menghapus air mata, tapi kita juga tidak menutup mata atas pembangunan.
Pak Harto jadi pahlawan melalui menantu yang pernah dibuang. Dan bangsa ini belajar bahwa keikhlasan bisa menjadi jembatan antara luka dan harapan. Semoga bangsa ini menghargai jasa para pahlawan bangsa.
*PENULIS Dewan Penasehat Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Jawa Timur.
Jangan Tampilkan Lagi
Ya, Saya Mau !