
Kyai panutan santri
Oleh *Imam Mawardi Ridlwan
HARIAN- NEWS.com – Fitnah merupakan gelombang. Ia bisa menenggelamkan jiwa, menghancurkan reputasi, dan memecah keharmonisan. Namun, bagi mereka yang berjalan di jalur kebenaran, fitnah justru bisa menjadi ujian yang mengangkat derajat. Ia datang bukan sekadar untuk menguji kesabaran, tetapi untuk menyingkap ketulusan. Maka pertanyaannya, apakah kita akan menjadi bara yang membakar, atau rahmat yang menyejukkan?
Di era digital, fitnah tak lagi berbisik di lorong-lorong sempit. Ia berteriak di layar-layar publik.
Baru-baru ini, viral di media sosial seorang yang pernah menjadi dosen di PTN Malang, terlihat menjatuhkan diri di tanah. Ia seperti “sedang gulung-gulung di tanah.” Sebuah sikap yang kurang elok dilakukan seseorang yang sudah hampir 60 tahun. Apalagi pelaku seorang yang punya mahasiswa? Apalagi menyebut dirinya kyai.
Prilaku orang tua seperti bocah TK tersebut beredar secara cepat di medsos. Karena memang dunia berubah mengandalkan kecepatan jempol untuk berselayaran. Pada seharusnya tugas dan fungsi kyai sebagai penyejuk kehidupan tidak tampak dalam kasus viral mantan dosen PTN di Malang tersebut.
Saya tidak pernah kenal dengan orang sedang action gulung-gulung di atas. Yang menjadi perhatian para netizen. Para netizenpun bertanya, “apa tujuan action tersebut? Mengapa orang tua berperilaku seperti bocah kecil? Mengapa orang yang menyebut dirinya kyai, belum mampu menjadi kehidupan lingkungannya?
Sebuah peristiwa yang dibintangi pecatan dosen. Ia pengajar ilmu tasawuf, apalagi ia mengaku sebagai orang penghafal Al-Qur’an. Ia juga sering menyebut dirinya kyai? Maka saya mencari tahu siapa dan apa itu kyai.
Seseorang yang berpridikat kyai itu bukan sebutan atau pangkat formal. Tetapi karena prilaku yang baik ngemong, mengayomi dan menjadi tauladan maka masyarakat sekitar yang menyebut kyai. Atau “aba yai.* Salah satu ciri menonjol kyai adalah penyejuk kehidupan. Di kehidupannya ada masjid atau minimal mushola. Ada santri walau hanya satu atau dua. Dan tentu menjaga diri sehingga tidak berpakaian membuka aurot. Biasanya punya rutinan ngaji walau jama’ah hanya tiga orang.
*Kyai Menjadi Penyejuk di Tengah Luka
Kyai apabila menapaki jalan ujian. Maka ia tidak membalas fitnah dengan kemarahan. Ia memilih jalan damai. Ia tetap akan menjadi penyejuk baik secara verbal dan sekaligus sikap prilaku. Apakah mudah?
Tentu jawabannya sangat sulit. Apalagi menjadi penyejuk saat disakiti. Namun itulah karakter yang harus dimiliki oleh para kyai yang berperan sebagai pembawa risalah Nabi Agung Muhammad sholalloh alaihi was salam. Pemberi kehidupan yang sejuk itu merupakan jalan orang-orang yang diberi amanah ilmu.
Di zaman fitnah, membela diri di medsos bukanlah solusi. Yang lebih utama adalah wirid berdoa dan tidak melaporkan ke APH. Saya semakin bertanya jika ada kyai khok main lapor polisi, benarkah ia itu kyai. Biasanya orang yang main lapor aparat penegak hukum dengan menggunakan advokad ada tujuan materi.
Kyai yang sebenarnya selalu memberi solusi damai dan menjadi penyejuk kehidupan. Kyai paham bahwa sebagai penyejuk tidak lahir dari perdebatan di medsos tapi dari ketulusan hati, memaafkan.
Para kyai yang menjadi panutan di saat ada fitnah mereka tidak larut dalam bara api yang membakar. Namun dengan kelembutan dan kelapangan hati, maka mereka tumbuh sebagai penyembuh, penyejuk.
Manakah ada orang yang menamakan dirinya kyai menyibukkan diri membalas fitnah apalagi mencelakan tetangga yang berdampingan, maka sejati saya sedang bertanya benarkah ia itu kyai. Karena kyai itu bukan sibuk mencari panggung kebenaran di medsos. Mereka tidak sibuk menjelaskan atas dirinya di medsos. Mereka juga tidak sibuk menggunakan cela kasus untuk kepentingan kehidupan dunia.
Tapi justru mereka selalu sibuk mendoakan siapapun yang kurang paham terhadap ajaran nabi. Sebagaimana nabi kita mendo’akan kaum yang belum nerima ajaran, “allohummadi kaumi fainnahum laaa ya’lamun.”
*Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam