
Drs. Johanes Bagus Kuncoro, M.Si.,
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tulungagung,
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com — Jalan Teuku Umar, urat nadi di jantung Kota Kabupaten Tulungagung, kini tengah bersolek. Suara mesin, gundukan tanah, dan deru proyek saluran air mulai akrab terdengar dalam beberapa pekan terakhir. Di tengah aktivitas itu, terselip satu wacana yang ramai dibicarakan warga: benarkah kawasan ini akan disulap menjadi “Malioboro-nya Tulungagung”?
Isu tersebut sempat viral di media sosial.
Warga pun mulai membayangkan trotoar lebar, lampu jalan bergaya kolonial, hingga deretan pedagang kaki lima yang tertata rapi. Namun sejauh mana rencana itu benar-benar akan terwujud?
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tulungagung, Drs. Johanes Bagus Kuncoro, M.Si., menegaskan bahwa konsep “Ala Malioboro” memang pernah dibahas, tetapi belum sampai pada tahap kajian akademik maupun master plan resmi.
“Kita mulai dari hal paling mendasar dulu. Yang harus diselesaikan pertama adalah air. Musuh aspal itu air. Kalau drainase sudah beres, baru kita bicara trotoar, estetika, dan aktivitas malam hari,” ujarnya kepada Harian News, Sabtu (18/10/2025).
Bangun dari Dasar: Drainase Dulu, Estetika Kemudian
Johanes menjelaskan, pembangunan drainase di Jalan Teuku Umar bukan proyek kebetulan. Langkah ini merupakan bagian awal dari perencanaan kota yang terintegrasi — menghubungkan kawasan Teuku Umar, Ahmad Yani, hingga Alun-Alun Tulungagung.
Menurutnya, penataan kota tidak boleh berhenti di permukaan. Harus dimulai dari bawah — dari sistem air, struktur jalan, hingga tata ruang yang kuat — agar wajah kota benar-benar kokoh dan berkelanjutan.
“Tulisan ‘Ala Malioboro’ itu memancing imajinasi publik. Tapi kita tidak sedang meniru Yogyakarta secara mentah,” ujarnya. “Yang penting bukan gayanya, tapi ruhnya. Malioboro hidup karena masyarakatnya menjiwai. Kalau masyarakat Tulungagung mau menjiwai ruang kotanya, barulah kota ini hidup.”
Kota yang Tak Pernah Tidur
Bagus menilai, karakter masyarakat Tulungagung menjadi modal sosial yang kuat untuk mewujudkan wajah kota yang hidup.
“Coba lihat, 24 jam Tulungagung tidak pernah tidur. Warung kopi dan warung makan buka terus. Banyak orang luar kaget, karena ini kota kecil tapi aktivitasnya tidak berhenti. Potensi ini luar biasa untuk menggerakkan ekonomi rakyat,” tuturnya.
Semangat itu, kata dia, sedang coba ditangkap Bappeda dalam desain ruang kota — bukan sekadar mempercantik jalan, melainkan menciptakan ruang publik yang menjadi wadah interaksi dan aktivitas masyarakat.
Menunggu Peran Warga
Meski arah pembangunan sudah mulai tampak, Bagus mengakui bahwa masyarakat dan pelaku UMKM di kawasan Teuku Umar belum sepenuhnya dilibatkan.
“Belum, karena kita masih menata pondasi dulu. Kalau pondasinya sudah benar, baru kita libatkan masyarakat,” ujarnya singkat.
Keterlibatan warga akan menjadi kunci. Sebab, kawasan Teuku Umar dikenal sebagai miniatur kebhinekaan Tulungagung — tempat berbaurnya warga Jawa, Arab, Bawean, hingga Tionghoa dalam harmoni sosial dan ekonomi yang dinamis.
Menuju Babak Baru Wajah Kota
Wacana “Malioboro Tulungagung” kini masih menggantung di udara. Belum ada dokumen kajian resmi, belum ada visualisasi rancangan tata ruang. Namun geliat pembangunan drainase, penataan trotoar, dan obrolan hangat di warung kopi menjadi sinyal bahwa Tulungagung sedang menata diri menuju babak baru.
Apakah wacana ini kelak menjelma menjadi kawasan wisata rakyat yang menghidupkan ekonomi malam hari, atau hanya berhenti pada proyek beautifikasi yang indah di pandangan namun rapuh dalam perencanaan?
Waktu yang akan menjawab.
Jurnalis: Pandhu
Editor: Tanu Metir