SURABAYA, HARIAN-NEWS.COM – Selama ini telah banyak melihat dan mengamati bahwa relasi antar umat beragama selalu menggunakan pendekatan humanisme dan kerja-kerja sosial. Namun, Prof Dr KH Achmad Muhibbin Zuhri MAg, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) ke-88 yang akan dikukuhkan pada tanggal 20 Desember 2023, mengajukan tawaran baru dalam hubungan antar umat beragama dengan pendekatan teologis yang dipahami secara benar.
Ia mengatakan interaksi muslim dan non muslim serta antar pemeluk agama yang lain, banyak ditunjukkan melalui aktivitas sosial sebagai instrumen dan pendekatan untuk mempererat persaudaraan atas nama kemanusiaan. Pendekatan teologis cenderung dihindari karena dianggap tidak relevan, kontra produktif dan hanya akan mengarahkan pada perdebatan tidak berujung dan konflik.
“Bahwa sebenarnya pendekatan teologis yang dipahami secara benar, justru akan menghasilkan toleransi yang tidak hanya pasif, tetapi aktif dalam komunitas agama. Asumsi dasar yang bisa kita pakai adalah bahwa semua bersumber dari tuhan yang satu dan sumber kebenaran adalah satu,Karena bersumber pada satu entitas Tunggal, yaitu Tuhan Yang Maha Esa,”jelasnya, di Surabaya, Kamis(14/12/2023).
Ia mengatakan dengan pemikiran tersebut maka, agama yang merupakan pelembagaan kepercayaan dari teologi, harusnya banyak memiliki kesamaan; baik pada aspek teologis maupun ideologis. Ada beberapa asumsi dasar yang melatarbelakangi kenapa teologi perlu dipertimbangkan untuk menjadi satu pendekatan dalam mengelola keragaman yang ada di Indonesia.
Dijelaskannya, beberapa alasan empiris dalam memakai pendekatan teologis yang dimaksud antara lain; Pertama, sebagai negara muslim terbesar dan demokratis yang mayoritas penduduknya mempunyai identitas keagamaan yang beragam, turut mendorong kontestasi peran agama di ruang publik yang tidak bisa dihindari. Namun, ekspresi keagamaan di ruang publik yang berbentuk kekerasan dan menyalahi prinsip-prinsip kewarganegaraan harus dicegah.
” Selama pengamatan saya, kasus kekerasan yang terjadi menunjukkan bahwa sebagian besar aksi dan represi
terhadap kelompok agama tertentu merupakan pengulangan aksi serupa sebelumnya, bahkan ada yang terjadi di lokasi yang sama atau dengan kelompok sasaran yang sama dan menurut riset kami, tidak pernah terjadi secara spontan. Hal ini menunjukkan bahwa konflik-konflik tersebut sebenarnya dapat dihindari,”ujarnya.
Fenomena semacam ini juga menunjukkan lemahnya kapasitas mengelola keberagaman
dalam hal strategi mencegah dan merespons risiko terjadinya konflik agama. Hal ini memperlihatkan ada problem
pemahaman teologis, ” Pada sebagian masyarakat kita dalam memahami agamanya sendiri (inward looking), sekaligus memandang agama orang lain,”jelasnya.
Kedua, tingkat kapasitas masyarakat dan negara dalam mengelola keberagaman berbeda-beda di setiap tempat. Di banyak tempat, ditemukan komunitas. Masyarakat yang terdiri dari warga dengan identitas berbeda namun sanggup hidup berdampingan dalam jangka waktu yang lama. Sayangnya, upaya untuk menjelaskan, mempublikasikan, dan menduplikasi kapasitas masyarakat dalam memahami agamanya sendiri (inward looking), sekaligus memandang agama orang lain.
Selain itu menurutnya, pengelolaan keberagaman ke lokasi lain belum maksimal dalam mengatasi kerentanan konflik. Di sisi lain, banyak perdamaian komunal yang terganggu oleh faktor eksternal, termasuk informasi yang saling bertentangan dari pihak lain. “Semua mengklaim bahwa pihaknya dan kelompoknya merupakan pemegang mandate kebenaran yang sah. Padahal, antara kebenaran satu dengan yang lain pada dasarnya tidak bisa dipertentangkan,”ujarnya.
Ketiga, kapasitas masyarakat dan negara dalam mengelola keberagaman seringkali melemah karena kurangnya
interaksi dan interelasi yang intensif antar faktor. Perbedaan sudut pandang, pendekatan dan kesalahpahaman
seringkali menimbulkan situasi saling menyalahkan antar aktor yang seharusnya bekerja sama untuk menciptakan
keharmonisan. Hal yang mengkhawatirkan adalah bahwa jawaban terhadap permasalahan keberagaman sering kali
didasarkan pada opini, keraguan atau kesalahpahaman, dan bukan pada pengetahuan akurat yang berdasarkan penelitian.
Hasilnya, tidak hanya potensi kekerasan yang bisa dihindari, namun ada upaya untuk menyelesaikan konflik
agama yang melanggengkan permasalahan tersebut. “Maka melalui pidato ini, saya berupaya melakukan
kontekstualisasi atau mungkin lebih tepatnya mendefinisikan ulang tentang apa yang selama ini kita pahami sebagai teologi. Secara garis besar, gagasan teologis yang ingin saya sampaikan adalah bahwa teologi Islam atau yang
dalam tradisi kita dikenal dengan istilah uṣūluddin, aqidah atau tauḥid, merupakan penegasan bahwa Tuhan itu satu,”tambahnya. (*)