
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com — Di tengah derasnya klaim keberhasilan program konvergensi stunting, Desa Jabalsari, Kecamatan Sumbergempol, tampil dengan cara berbeda. Bukan lewat laporan berwarna atau seremoni gemerlap, melainkan melalui kerja nyata yang bisa diukur. Pada 9 Oktober 2025, desa ini menerima penghargaan “Desa Berkinerja Baik” dari Kementerian Desa PDTT—pengakuan yang lahir dari bukti nyata, bukan pencitraan semu.
“Kami tidak main di laporan. Semua hasil terukur dari data Bulan Penimbangan Balita. Kalau ada kasus, kami rujuk ke RSUD dr. Iskak. Tidak bisa dimanipulasi,” — Mahmudi, Kepala Desa Jabalsari.
Gotong Royong Jadi Kunci
Mahmudi paham, penghargaan tanpa pembuktian hanyalah simbol kosong. Karena itu, sejak awal ia membangun sistem kerja berbasis kolaborasi dan transparansi. Seluruh unsur masyarakat ikut bergerak: kader kesehatan, tokoh adat, pengusaha lokal, hingga warga biasa.
Edukasi bahkan dimulai sejak tahap pra-nikah, melibatkan Mbah Dukun dan Mbah Modin untuk memastikan kesiapan kesehatan calon pengantin. Pengusaha lokal pun turut berperan dengan menyisihkan dana CSR membantu keluarga berisiko stunting.
“Program kami tidak bisa berjalan kalau tidak ada gotong royong,” tegas Mahmudi.
Dana Tepat Sasaran, Hasil Terasa
Jika di banyak tempat dana desa menguap dalam laporan kegiatan dan dokumentasi seremonial, Jabalsari memilih jalur berani: menyalurkan setiap rupiah langsung kepada penerima manfaat. Fokusnya jelas—ibu hamil KEK, ibu nifas, dan balita berisiko stunting. Mereka mendapat asupan susu, tablet tambah darah, dan makanan tambahan secara rutin.
“Tidak ada dana yang habis di acara seremonial,” ujarnya menegaskan.
Keterbukaan inilah yang menumbuhkan kepercayaan warga. Dari kepercayaan lahir partisipasi, dan dari partisipasi lahir hasil nyata.
Ubah Pola Asuh, Lawan Akar Masalah
Mahmudi menyoroti satu hal penting yang kerap terlupakan: stunting bukan semata soal kemiskinan, tapi pola asuh yang keliru.
“Sekarang banyak orang tua menyerahkan anak ke gawai. Yang penting diam, dikasih YouTube. Padahal itu yang merusak pola makan dan tumbuh kembang,” ujarnya tajam.
Untuk itu, Pemerintah Desa Jabalsari aktif melakukan edukasi melalui media sosial seperti TikTok dan Instagram, serta pendekatan kultural lewat majelis yasin dan tahlil.
Bukti Bukan Piagam
Bagi Mahmudi, penghargaan bukan garis akhir, melainkan awal tanggung jawab baru. Tahun 2025 menjadi titik penting: tidak ada kasus stunting baru di Jabalsari. Lima balita yang masih dalam pendampingan terus dipantau secara intensif.
“Kami tidak mau berhenti di piagam. Program ini harus berlanjut, bahkan setelah saya tidak menjabat,” ucapnya.
Tongkat estafet sudah disiapkan. Fondasinya kokoh—kolaborasi warga, kesadaran bersama, dan semangat gotong royong.
“Sekecil apa pun kebaikan, kalau dilakukan bersama, hasilnya besar,” tandasnya.
Di saat banyak desa sibuk menata laporan demi penghargaan, Jabalsari memilih jalan sunyi tapi pasti: bekerja jujur, terbuka, dan berorientasi hasil. Bagi Desa Jabalsari, penghargaan bukan tujuan, melainkan bukti bahwa kerja tulus tetap berbuah manis.
Jurnalis: Pandhu
Editor Tanu Metir