
Oleh : Mawardi Abu Thoriq*)
TULUNGAGUNG, HARIAN- NEWS.com – Penulis tiba di SMA Swasta Ahad siang (12/4/2025) setelah kegiatan menghadiri
mantenan di Pesantren Krapyak Mayong Sidomlangean Kedungpring Lamongan.
Sengaja penulis tidak menyebutkan nama terang sekolah yang dimaksud, hanya
menggunakan istilah SMA Swasta. Saat tiba langsung bertemu dengan Bapak Kepala SMA Swasta. Saat itu waktu dhuhur sudah berjalan lama, ia masih membenahi
sekolah bersama pak tukang.
“Inilah sekolah tercinta kami,” katanya dengan suara lirih mungkin karena lelah
karena semalam bertemu penulis. Kepala sekolah SMA Swasta bersama ketua
yayasan pagi sampai siang kemarin bertandang ke pondok untuk bershilaturahmi dengan penulis. Kemudian siangnya langsung bekerja bersama dengan tukang.
“Al-hamdulillah sekolahnya besar dan strategis. Tinggal dirawat bersama,” jawabku untuk mengobati beban psikologis karena SMA Swasta hanya ada tujuh murid yang aktif tiap hari.
SMA Swasta berada di lokasi sangat strategis dibandingkan dengan beberapa sekolah swasta lain yang pernah penulis dampingi. Saat penulis memasuki lokasi SMA Swasta teringat ada jejak perjuangan yang telah diukir dan tampak jaya di masanya sekitar tahun 1975 hingga tahun 90-an. Sabtu siang (12/4/2025), saat itu sudah tidak tampak ada pemuda berseragam sekolah berlari, bermain, dan membaca buku di SMA Swasta.
Setiap tamu yang berkunjung tak akan menemukan sambutan hangat murid. Hanya
suara binatang dari pinggir sungai saja yang terdengar. Suara anak mengaji juga tidak terdengar sama sekali.
“Bapak Kepala SMA Swasta, saya salut dan bangga pada Anda,” suara hatiku, tidak
enak kalau harus kuverbalkan. Penulis harus jujur mengatakan, “Anda tulus ikhlas berkhidmad walau potensi SMA Swasta masih membisu.”
Di ruang tamu SMA Swasta, Bapak kepala SMA Swasta memberi segelas air putih ke
penulis. Dia ditemani seorang yang setia membantu, melanjutkan kisah atau ceritanya yang tadi malam yang belum tuntas. Semakin menambah wawasan ilmuku. “Semoga ada solusi untuk sosok yang ikhlas berkhidmad ini,” harapanku.
Seorang ikhlas berkhidmad telah melakukan tugas terbaik sesuai kemampuannya.
Setidaknya sudah membuat profil SMA Swasta yang dipimpinnya dalam bentuk vidio.
Sangat bagus. Menata kembali lingkungan SMA Swasta agar tampak layak menjadi
sekolah terbaik. la tersenyum membawa asa saat bermusyawarah langkah menuju
sekolah yang baik. Baik itu langkah kecil, sederhana, ataupun yang besar. Ia juga tidak peduli getirnya perjalanan hanya asa berkhidmad yang ada.
Anda teiah ikhlas berkhidmad. Semoga tetap teguh di saat gelombang ombak selalu menemani perjalanan Anda,” do’a ku.
Saat penulis duduk di kursi tamu SMA Swasta, ia tampak menatap masa depan.
Namun tampak dalam pikirannya masih menyimpan kecemasan.
“Apa yang mampu kuberbuat di sini. Bersama siapa kuharus berlari?” itulah yang ada di dalam benaknya.
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 14.00 (WIB). Segera kupamit karena di
rumah Tulungagung ada kegiatan Haul & Istihlal pukul 19.30 WIB. Sambil berjabattangan, berpamitan, dalam hatiku berdo’a, “Semoga semua yang pernah di SMA
Swasta ini mendo’akan keberkahan SMA Swasta ini. Semoga ada yang berkenan
mengulurkan tangan dan melangkahkan kaki. Semoga rasa empati ada di do’a para pengurus yayasan, guru, dan alumni.”
Bapak Kepala SMA Swasta berjalan menghantarku ke kendaraan. Tetapi masih ada banyak kisah yang ingin disampaikan. Namun saya harus meninggalknannya untuk
menyambut tamu yang akan datang di rumah kami, Tulungagung, nanti malam.
“Semoga Gusti Allah Ta’ala memberkati khidmad Anda,” do’aku untuk
menyemangatinya.
Sepanjang perjalanan ke Tulungagung, penulis merasa salah karena hanya membawa kehampaan di ruang kosong. Tiada kemampuan apapun di kala menyaksikan kesendirian bapak kepala SMA Swasta.
“Mengapa saya tega, tergesa-gesa pulang?,” gumamku dalam hati. (*)
Tulungagung, IMR, Ahad 13-4-2025