160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Semarak Layangan di Langit Ngrowo: Tradisi Lama yang Kembali Bersinar

TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com – Kala senja merunduk di ufuk barat, tepian Sungai Ngrowo di Dusun Ngruweng, Desa Moyoketen, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung berubah menjadi kanvas luas berhiaskan warna-warni layangan. Udara sore tak hanya membawa angin yang menari, tetapi juga nostalgia masa kecil yang menggugah hati.

Sudah hampir dua pekan, setiap sore kawasan tanggul Sungai Ngrowo mendadak ramai. Ratusan warga dari berbagai penjuru Tulungagung, Jawa Timur berdatangan, membawa serta keluarga, kursi lipat, tikar, bahkan bekal makanan ringan. Mereka datang bukan untuk sekadar bersantai, tapi menyaksikan – bahkan turut ambil bagian dalam – sebuah perayaan budaya yang perlahan bangkit dari tidur panjang: Festival Layangan.

Tak ada panggung megah atau pengeras suara. Namun keriuhan tawa, sorak saat dua layangan bersabung benang di udara, serta suara khas deru benang yang beradu, menjadi hiburan yang mengalahkan gawai. Langit menjadi panggung utama.

750 x 100 AD PLACEMENT

Puluhan hingga ratusan layangan dengan aneka bentuk dan motif—dari tokoh kartun, simbol klub sepak bola, hingga karya seni buatan sendiri—menari lincah mengikuti hembusan angin.
“Ini semacam festival kecil-kecilan, tapi bermakna besar,” ucap David Rio Saputra, salah satu warga yang turut meramaikan suasana.

Baginya, layangan bukan sekadar permainan, tapi bagian dari kenangan yang ingin ia hidupkan kembali.
“Dulu kami biasa main di Jembatan Ngrowo. Tapi setelah tempat itu berubah jadi ruko, ya pindah ke sini. Ternyata ramai juga,” katanya.

David Rio penggemar layangan.(HN/Pandhu)

David bukan satu-satunya yang merasakan semangat baru. Para penjual makanan keliling pun turut mendapatkan berkah. Di antara semilir angin dan suara anak-anak berlarian mengejar layangan putus, aroma gorengan dan jagung bakar menguar, membawa sensasi tersendiri. Warna-warni payung pedagang ikut menyemarakkan pemandangan.
“Kalau sore, yang paling ditunggu itu sambitan,” ujar David sambil tersenyum. Sambitan, dalam istilah layangan lokal, adalah saat dua layangan bertarung dengan benang, hingga salah satunya tumbang.

Momen ini selalu memicu sorak-sorai dan kejar-kejaran tak kenal usia. Anak-anak, remaja, bahkan orang tua ikut larut dalam euforia mengejar “harta karun” yang jatuh dari langit.

750 x 100 AD PLACEMENT

Namun, di balik semarak itu, ada harapan besar. David berharap agar festival ini bisa mendapatkan perhatian dari pemerintah desa. “Kalau bisa dibikinkan tempat yang lebih nyaman, ada zona main layangan sendiri, dan lokasi jualan UMKM yang teratur. Ini bisa jadi potensi wisata lokal yang menjanjikan,” usulnya.

Bagi masyarakat sekitar, geliat permainan tradisional ini membawa angin segar—bukan hanya secara harfiah, tapi juga secara sosial dan ekonomi.
“Banyak orang jualan, anak-anak jadi aktif di luar rumah, dan kita bisa kumpul-kumpul. Ini semangat kebersamaan yang mulai hilang dan sekarang bisa bangkit lagi,” imbuh David.

Festival layangan di Sungai Ngrowo bukan sekadar keramaian sesaat. Ia tumbuh dari kerinduan, dijaga oleh komunitas, dan kini mulai menarik perhatian lebih luas. Tradisi yang nyaris terlupa, kini kembali menjadi magnet yang menyatukan, menghibur, dan menghidupkan ekonomi lokal.

750 x 100 AD PLACEMENT

Seperti layangan yang terbang tinggi dengan benang terikat di bumi, begitu pula tradisi ini—menjulang ke langit, namun tetap berpijak pada akar budaya yang menghidupkannya. Langit Ngrowo sore hari kini bukan hanya biru, tapi penuh warna, cerita, dan harapan.

Jurnalis Pandhu

Editor Tanu Metir

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
Ayo ikut berpartisipasi untuk mewujudkan jurnalistik berkualitas!
Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !