160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Siapa Mau Jadi Petani? Krisis Regenerasi dan Ancaman Ketahanan Pangan

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

JAKARTA, HARIAN-NEWS.com  “Kalau bisa kuliah tinggi-tinggi, masa mau jadi petani?” Kalimat ini barangkali sering terdengar di tengah perbincangan orang tua, guru, bahkan pejabat ketika bicara tentang masa depan generasi muda.
Ironisnya, di negeri agraris seperti Indonesia, menjadi petani justru dianggap sebagai jalan hidup terakhir.

Di balik pembangunan infrastruktur, digitalisasi, dan jargon revolusi industri 4.0, ada satu sektor vital yang terus terpinggirkan: pertanian. Lebih parah lagi, sektor ini kini menghadapi krisis paling mendasar—kekurangan generasi penerus.

Petani Tua, Lahan Terlantar
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), usia rata-rata petani Indonesia kini sudah di atas 50 tahun. Laporan Sensus Pertanian 2023 mencatat, dari sekitar 29 juta rumah tangga usaha pertanian, lebih dari 60% dikepalai oleh petani berusia 45 tahun ke atas.
Artinya, dalam satu dekade ke depan, sebagian besar petani akan memasuki usia pensiun tanpa ada jaminan ada yang menggantikan.

750 x 100 AD PLACEMENT

Padahal, regenerasi petani adalah kunci keberlanjutan ketahanan pangan. Jika anak-anak muda enggan turun ke sawah, siapa yang akan menggarap lahan? Siapa yang akan menanam padi, cabai, jagung, dan sayuran yang kita nikmati setiap hari?
Menteri Pertanian periode 2019–2024, Syahrul Yasin Limpo, pernah mengatakan bahwa “Krisis regenerasi petani adalah ancaman serius bagi bangsa. Tanpa petani muda, kita akan bergantung pada impor dan kehilangan kedaulatan pangan.”

Bukan Soal Cangkul, Tapi Martabat
Ada banyak alasan mengapa anak muda enggan menjadi petani. Di antaranya adalah stigma sosial, ketidakpastian pendapatan, dan minimnya dukungan infrastruktur serta teknologi.

Menjadi petani dianggap identik dengan kemiskinan, kerja kotor, dan hidup di pedesaan yang tertinggal. Tak heran jika survei Kementerian Pertanian pada 2022 menunjukkan bahwa hanya 2 dari 10 mahasiswa pertanian yang benar-benar ingin menjadi petani.
“Orang tua saya petani, dan mereka tidak ingin saya hidup seperti mereka—capek, miskin, dan tidak dihargai,” ungkap Rina (23), mahasiswa agribisnis di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah.

Padahal, dengan pendekatan modern, pertanian bisa menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Teknologi Internet of Things (IoT), pertanian presisi, hingga e-commerce telah membuka peluang besar bagi generasi muda untuk masuk ke sektor ini dengan cara baru. Tapi tentu saja, hal ini membutuhkan dukungan kebijakan, insentif, dan perubahan paradigma.

750 x 100 AD PLACEMENT

Solusi: Dari Afirmasi Hingga Ekosistem Regeneratif
Berbagai inisiatif memang sudah dilakukan. Program Youth Enterpreneurship and Employment Support Services (YESS) dari Kementan misalnya, mencoba mengembangkan wirausaha muda di sektor pertanian. Beberapa pemerintah daerah juga mulai memberikan bantuan modal dan pelatihan.

Namun semua itu belum cukup jika tidak ada ekosistem yang mendukung secara sistemik: akses lahan, jaminan pasar, perlindungan harga, hingga kepastian hidup layak bagi petani muda. Perlu intervensi negara dan kolaborasi multi-sektor, termasuk perguruan tinggi, pesantren, koperasi, dan pelaku industri.
“Kalau regenerasi petani tidak kita desain sekarang, kita sedang membangun bom waktu untuk krisis pangan di masa depan,” ujar Prof. Dwi Andreas Santosa, pakar pertanian IPB University.

Menumbuhkan Harapan
Bangsa ini tidak kekurangan lahan, tidak kekurangan anak muda, dan tidak kekurangan semangat. Yang kita butuhkan adalah merobohkan tembok stigma, membangun jalan masuk bagi generasi baru, dan memberikan jaminan bahwa menjadi petani bukan pilihan terakhir—melainkan panggilan mulia dan profesi strategis.
Karena di tangan petani, kita bisa makan. Dan di tangan petani muda, masa depan pangan bangsa bisa diselamatkan.

 

750 x 100 AD PLACEMENT

Berita Terkait
930 x 180 AD PLACEMENT
Ayo ikut berpartisipasi untuk mewujudkan jurnalistik berkualitas!
Promo Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau !