
MBG Bukan Panggung Bisnis, Pilihlah Bahan Terbaik Demi Anak Bangsa
Oleh *Imam Mawardi Ridlwan
HARIAN- NEWS.com – Program Makan Bergizi (MBG) resmi dimulai pada 6 Januari 2025. Sejak peluncuran, program ini menyedot perhatian banyak pihak karena menjadi harapan bagi anak-anak untuk mendapat layanan makanan bergizi dan aman.
Namun sejak awal, saya sudah menyimpan kekhawatiran. Terlalu banyak pintu terbuka bagi pemasok: ada yang tulus, tapi ada pula yang oportunis; ada yang berpengalaman, tapi tak sedikit yang sekadar coba-coba berdagang.
Karena itu, satu pesan penting ingin saya titipkan kepada para pengelola MBG: jangan tergoda. Jangan silau oleh harga murah atau janji manis. Jangan pula tunduk pada tekanan mitra atau yayasan. Jika bahan tidak sesuai standar MBG, tolak saja dengan tegas. Sebab di balik satu keputusan lunak, bisa tersembunyi bencana besar.
Senin (8/9/2025), saya kedatangan tamu dari luar kota. Mereka bercerita getir tentang mitra yang memaksa penggunaan ayam tak layak konsumsi. Ahli gizi menolak, tetapi tetap disuruh memakai. Saya hanya bisa menghela napas. Ini bukan sekadar soal ayam, ini soal amanah dan masa depan anak-anak.
Kejadian serupa pernah terjadi di salah satu kabupaten. Nasi yang baru dimasak tiba-tiba basi saat disajikan. Tidak tampak salah secara kasat mata, tetapi mungkin ada kesalahan dalam perlakuan: suhu, waktu, atau kelalaian kecil yang berujung besar. Dari sini kita belajar, keracunan tidak selalu datang dari bahan buruk, melainkan juga dari bahan baik yang ditangani dengan cara yang salah.
Saya masih ingat, di hari pertama MBG, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hadir dengan laboratorium mobil untuk meneliti bahan makanan sebelum disajikan. Hasilnya dipublikasikan secara transparan. Itulah standar yang harus dijaga. Jangan sampai semangat awal hanya jadi kenangan. Pengawasan harus berlanjut tanpa kompromi.
Saya paham, menolak bahan dari mitra tidak mudah, apalagi jika mitra itu yang memodali sebagian operasional. Tetapi MBG bukan panggung bisnis murni. MBG adalah ladang amal, ladang perjuangan. Jika lengah, yang menanggung akibatnya bukan kita, melainkan anak-anak penerima makanan, para relawan, Kasatpel yang bertanggung jawab, hingga ahli gizi yang harus menjelaskan mengapa ada yang sakit.
Kegagalan keamanan pangan bukan sekadar kesalahan teknis. Ia bisa berujung pada Kejadian Luar Biasa (KLB). Dan jika itu sampai terjadi, penyesalan tidak akan ada gunanya.
Karena itu saya kembali menegaskan: pilihlah bahan terbaik, tolak yang tidak layak, jangan kompromi. MBG bukan sekadar program, melainkan janji. Janji bahwa anak-anak Indonesia berhak makan dengan aman, bergizi, dan bermartabat.
(Anggota Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokad Pejuang Islam)*