
KH. Samsul Umam, S.Pd., Pengasuh Pondok Pesantren MIA, Moyoketen, Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur.
Pengasuh Ponpes MIA Tulungagung dorong santri berpikir kritis tanpa kehilangan adab dan jati diri keislaman.
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com — Budaya feodalisme di lingkungan pesantren kembali jadi sorotan publik. Pola hubungan antara kyai dan santri yang terlampau hierarkis kerap dinilai mengekang daya pikir dan ruang dialog. Namun, bagi KH. Samsul Umam, S.Pd., Pengasuh Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ilmi Wal ‘Amal (MIA) Tulungagung, kepatuhan santri bukanlah bentuk kepasrahan tanpa nalar.
“Santri memang diajarkan patuh, tapi patuh itu ada batasnya. Kepatuhan tidak boleh membunuh akal,” tegas KH. Samsul dalam wawancara eksklusif bersama Harian News, Senin (6/10/2025).
Mendobrak Sekat Tradisi
Isu feodalisme di pesantren bukan hal baru. Relasi vertikal antara kyai dan santri, yang dianggap sakral, kerap dituding menghambat kebebasan berpikir. Namun KH. Samsul memandang persoalan ini lebih dalam.
Ia menilai, perbedaan paradigma antar-pengasuh pesantren membuat perubahan berjalan tidak seragam.
“Setiap kyai punya cara pandang sendiri. Tapi kalau terlalu tertutup terhadap dunia luar, santri bisa kehilangan kemampuan berpikir mandiri,” ujarnya.
Menurutnya, tantangan terbesar justru terletak pada sistem pesantren itu sendiri — bagaimana lembaga pendidikan Islam mau membuka diri tanpa kehilangan jati diri keagamaannya.
Patuh, Tapi Kritis
Bagi KH. Samsul, konsep taat tidak boleh dimaknai sebagai ketaatan absolut.
“Taat harus disertai nalar. Santri boleh berbeda pendapat, asal masih dalam koridor adab,” katanya.
Ia mengakui, dalam sebagian pesantren, suara santri sering diabaikan. Karena itu, di Pondok Pesantren MIA, dikembangkan sistem pendidikan partisipatif yang terbuka terhadap kritik.
“Kami ingin santri berani berpikir. Tidak semua hal dari luar itu ancaman. Dunia berubah, dan santri harus membaca arah zaman,” ujarnya.
Ketegangan antara Tradisi dan Modernitas
Fenomena feodalisme di pesantren tidak lepas dari tradisi klasik yang menempatkan kyai sebagai figur sentral dan pemegang otoritas spiritual. Namun di era digital, model relasi tersebut perlu ditinjau ulang.
KH. Samsul menilai, perubahan bukan berarti menumbangkan tradisi, melainkan menata ulang relasi agar santri tetap punya ruang tumbuh.
“Agama tidak boleh terancam oleh ilmu pengetahuan. Keduanya harus berjalan beriringan. Kalau pesantren menutup diri, yang rugi justru umat,” tandasnya.
Transformasi dari Dalam
Menurut KH. Samsul, perlawanan terhadap feodalisme tidak cukup dengan seruan moral. Diperlukan perubahan sistemik dalam metode pengajaran dan cara berpikir para pengasuh.
Pesantren MIA kini memperkenalkan pendekatan pendidikan berbasis literasi digital, riset ilmiah, dan keterlibatan sosial.
“Kami dorong santri belajar ilmu umum, ikut lomba, dan aktif di masyarakat. Santri tidak boleh hanya menghafal kitab, tapi harus memahami realitas,” katanya.
Baginya, perpaduan antara ilmu agama dan sains akan melahirkan santri yang memahami nilai keislaman secara rasional dan kontekstual.
Menegakkan Otoritas dengan Nalar
KH. Samsul menegaskan, menjaga wibawa kyai bukan berarti mengekang pikiran santri.
“Wibawa itu tumbuh dari keilmuan, bukan dari ketakutan. Kalau santri segan karena takut, itu bukan penghormatan, tapi feodalisme,” ujarnya lugas.
Pernyataannya menjadi refleksi penting di tengah dorongan reformasi pendidikan Islam: kepatuhan tanpa nalar hanya melahirkan generasi penurut, bukan pemimpin masa depan.
“Pesantren harus jadi ruang dialog, bukan menara kekuasaan,” pungkasnya.
Jurnalis: Pandhu
Editor: Tanu Metir