
Keracunan MBG; Akankah Berulang?
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan*
HARIAN – NEWS.com –
Saya tidak sedang menyalahkan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Saya juga tidak sedang membela. Saya hanya sedang bertanya: apakah keracunan MBG akan berulang?
Pertanyaan ini bukan basa-basi. Bukan pula retorika. Ini pertanyaan yang muncul dari rasa prihatin, dari rasa sayang kepada anak-anak Indonesia yang seharusnya menerima gizi, bukan racun.
Program MBG ini mulia. Sangat mulia. Ia hadir dengan anggaran besar di RAPBN 2026. Ia digagas untuk memperbaiki gizi anak-anak bangsa. Tapi seperti kata orang tua dulu: niat baik saja tidak cukup. Harus disertai teliti, tanggung jawab, dan ilmu.
Hingga akhir Agustus 2025, sudah muncul beberapa kasus keracunan. Bukan satu. Bukan dua. Dan bukan di satu tempat. Saya tidak melihat kesalahan pada desain program MBG. Saya melihat keteledoran. Human error. Kelalaian yang bisa dicegah, tapi tidak dicegah. Kurang tegas. Hanya mengejar target tanpa kwalitas.
MBG harus berjalan sebagai program yang aman. Tidak ada lagi was-was. Tidak lagi ada kekuatiran. Tentu saja semua ada syarat yang dipatuhi. Tidak ada yang sembrono. Tidak hanya asal tunjuk ahli gizi dan relawan di SPPG. Namun harus dengan ilmu saat mengangkat ahli gizi dan relawan.
Jadi yang harus dievaluasi bukan programnya, tapi orang-orangnya. Tim di SPPG yang lalai harus diberi sanksi. Sanksi yang jelas. Sanksi yang tegas. Kalau perlu, diberhentikan. Tidak diberi amanah lagi. Karena amanah itu suci. Dan anak-anak itu sasaran korban.
Saya tahu, memberi sanksi itu tidak mudah. Harus ada petunjuk teknis. Harus ada standar penilaian yang rijik. Tapi lebih tidak mudah lagi jika kita membiarkan. Karena kalau dibiarkan, keracunan akan berulang. Dan yang frustasi bukan hanya anak-anak, tapi juga orang tua, guru, dan relawan yang tulus.
Menjalankan MBG bukan sekadar bagi-bagi makanan. Ini soal kesehatan. Soal nyawa. Maka semua instansi kesehatan harus dilibatkan. Para Kasatpel SPPG harus punya niat mulia. Para ahli gizi harus turun tangan. Para relawan harus diseleksi ketat. Tidak boleh ada yang main-main.
Saya tahu, ini berat. Tapi siapa bilang kerja untuk anak-anak itu ringan?
Para pelaksana MBG harus belajar. Harus tahu bahan makanan mana yang mudah terkontaminasi. Harus tahu bagaimana menyimpan, mengolah, dan mendistribusikan dengan aman. Harus tahu bahwa satu kesalahan kecil bisa jadi bencana besar.
Dan yang paling penting: semua pihak harus membuka diri. Harus mau memperbaiki. Tidak boleh ada yang arogan. Tidak boleh ada yang merasa paling benar. Karena memaksakan sumber daya yang tidak cakap adalah awal dari bencana.
MBG harus dibangun dengan sinergi. Dengan semangat gotong royong. Dengan sumber daya yang mumpuni. Dengan hati yang bersih. Karena MBG bukan sekadar program. Ia adalah amanah. Ia adalah ibadah.
Dan ibadah, seperti kita tahu, tidak boleh asal-asalan.
Anggota Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokad Pejuang Islam*