
TULUNGAGUNG, HARIAN-NEWS.com – Dalam balutan semangat pelestarian alam, Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Himalaya UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (UIN SATU) memperingati hari jadinya yang ke-23 dengan menggelar aksi nyata “River Clean Up” di sepanjang bantaran sungai Tulungagung, Kamis (1/5/2025).
Kegiatan ini menjadi seruan lantang akan pentingnya menjaga “arteri kehidupan” sungai bagi keberlangsungan ekosistem dan peradaban.
Ratusan jiwa dengan visi yang sama turun ke “medan hijau” aksi bersih-bersih sungai. Anggota Mapala Himalaya bahu-membahu dengan komunitas pecinta lingkungan dari Kediri dan Blitar, serta para “pengawal alam” muda dari Siswa Pencinta Alam (Sispala) dan pemuda sekitar sungai.
Mereka bergerak membersihkan sampah yang mencemari, sekaligus menjadi “agen edukasi” bagi warga tentang urgensi menjaga kebersihan lingkungan, terutama di “jantung” aliran sungai.
Alwi, sang koordinator lapangan dari Mapala Himalaya, menegaskan bahwa kegiatan ini menyoroti isu krusial air dan pelestarian sungai. “Air adalah sumber kehidupan yang tak ternilai, dan sungai adalah cerminan peradaban suatu bangsa. Ironisnya, kesadaran akan arti penting air bersih dan sungai sehat masih minim di sebagian masyarakat,” ungkap Harun, rekan Alwi, dengan nada prihatin.
Harapan membuncah agar aksi sekecil ini mampu membuka mata hati warga di sekitar bantaran sungai untuk lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. “Mari kita rajut kembali keharmonisan dengan sungai, menjaganya dari polusi sampah rumah tangga maupun limbah industri,” ajaknya penuh harap.
Aksi “Himalaya Menyapa Sungai” ini disambut hangat oleh masyarakat, menjadi oase kampanye kesadaran lingkungan yang efektif. Lebih dari itu, Mapala Himalaya juga mengajak para “pemegang kebijakan” dari berbagai lini untuk turut serta dalam “simfoni” pelestarian alam yang lebih luas.
Di sisi lain, dalam resonansi peringatan Hari Pendidikan Nasional, isu “anak-anak yang terpinggirkan” dari bangku sekolah turut menjadi perhatian. Tingginya angka putus sekolah di Kabupaten Tulungagung menjadi “karang terjal” dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mewujudkan program wajib belajar 13 tahun secara merata membutuhkan “intervensi ekologis” dari berbagai elemen, mulai dari akar rumput pemerintah desa hingga lembaga pendidikan dan seluruh lapisan masyarakat.
“Jika setiap pihak mengambil peran, kita optimis angka anak putus sekolah akan terus menyusut. Pendidikan yang merata adalah ‘pupuk’ terbaik untuk mengurangi ‘kemiskinan’ di Tulungagung,” seru seorang aktivis pendidikan dalam kegiatan tersebut, menghubungkan isu lingkungan dengan keadilan sosial.
Aksi “River Clean Up” oleh Mapala Himalaya menjelma menjadi simbol “mutualisme” yang indah antara gerakan pelestarian lingkungan dan misi mulia pendidikan. Dengan semangat kebersamaan yang mengalir seperti sungai, mereka berharap dapat menorehkan perubahan positif bagi masyarakat dan “rumah” lingkungan sekitar.
Jurnalis: Pandhu
Editor. : Tanu Metir